Jakarta, Gatra.com - Dampak isu perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) dianggap sebagai suatu daya yang telah merubah tatanan alur ekonomi secara global. Tiongkok dan AS bergerak untuk mendapatkan dukungan negara-negara lain di dunia masuk ke kubunya masing-masing
"Itensitas tekanan ekonomi global yang terjadi akibat perang dagang telah mendorong banyak perubahan terhadap model kerjasama baik regionalisme maupun multilateralisme," kata Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti di Jakarta, Jumat (2/8).
Rachmi melihat pusaran pertarungan diantara dua kekuatan ekonomi dunia, ini mau tidak telah menarik negara-negara diluarnya, khususnya negara berkembang, untuk mengambil sikap dan strategi diplomasi, yang bisa jadi memilih diantara satu kekuatan atau tidak memilih satu kekuatan pun.
"Semangat south to south cooperation (kerja sama antar negara selatan) bisa jadi adalah pilihan yang mendorong perseteruan dua kubu saat ini dalam perang dagang," kata Rachmi.
Berkaca pada momen perang dingin antara Uni Soviet dan AS, dimana Indonesia menjadi penggerak negara non-blok, Rachmi berpandangan Indonesia memiliki kesempatan untuk membangun kembali semangat negara-negara selatan di dalam perang dagang kali ini.
Namun Rachmi berharap Pemerintah dapat belajar dari Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), karena RCEP belum bisa dianggap sukses dalam mewujudkan kesatuan antara negara selatan.
"Mungkin, karena RCEP juga masih dipengaruhi oleh China," ujarnya.