Home Politik KPK Panggil Dua Direktur dalam Kasus Pengadaan BCSS di Bakamla

KPK Panggil Dua Direktur dalam Kasus Pengadaan BCSS di Bakamla

 
Jakarta, Gatra.com - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Direktur PT. Pronusa Energi, Taufik dan Direktur PT. Interlink Nusa Niaga, Sukron Fauzan dalam kasus korupsi  pengadaan Backbone Coastal Surveillance System (perangkat transportasi informasi terintegrasi) yang terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System (BIIS) di Bakamla Tahun Anggaran 2016.
 
"Yang bersangkutan akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka LM (Leni Marlena)," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah saat dikonfirmasi Jumat (2/8).
 
Tidah hanya dua direktur di dua perusahaan itu, Penyidik Komisi antirasuah juga mengagendakan pemeriksaan terhadap dua saksi lainnya yakni Arsitek PT CMI Teknologi, Hans Suhady dan Sales Manager PT. Kirana Solusi Utama, Deddy Anggawidjaja. 
 
Sehari sebelumnya, Kamis (1/8), Penyidik Antirasuah sudah memanggil tiga saksi. Dalam pemeriksaan itu, KPK mendalami keterangan saksi terkait harga dan pembelian barang dari pemenang lelang pengadaan Backbone Coastal Surveillance System (BCSS).
 
"Penyidik mendalami keterangan saksi terkait harga dan pembelian-pembelian barang oleh pemenang lelang BCSS yaitu PT CMI kepada saksi terkait," kata Febri, Kamis (1/8).
 
Dalam kasus ini, KPK menetapkan empat orang tersangka. Mereka adalah Bambang Udoyo (BU) selaku Pejabat Pembuat Komitmen. Lalu Ketua Unit Layanan Pengadaan, Leni Marlena (LM); Anggota Unit Layanan Pengadaan, Juli Amar Maruf (JAM), dan Direktur Utama PT CMI Teknologi, Rahardjo Pratjihno (RP).
 
Khusus Bambang Udoyo, kasusnya akan ditangani oleh POM AL. Alasannya karena Ia masih merupakan anggota aktif dari TNI AL. Sisanya yang tiga tersangka lain akan ditangani oleh Komisi Antirasuah. 
 
Kasus ini merupakan pengembangan perkara dari kasus suap Pengadaan Satelit Monitoring di Bakamla Tahun Anggaran 2016. kasus yang juga menjerat Bambang Udoyo. Ia dinyatakan bersalah dan divonis dalam kasus Pengadaan Satelit Monitoring di Bakamla. Ia dijatuhi hukuman penjara 4 tahun 6 bulan di Pengadilan Tinggi Militer Jakarta.
 
Kasus yang dihadapinya saat ini bermula dari usulan anggaran untuk pengadaan Backbone Coastal Surveillance System (BCSS) yang terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System (BIIS) sebesar Rp400 miliar. Dana tersebut bersumber pada APBN-P 2016 di Bakamla RI Tahun Anggaran 2016.
 
Saat itu, anggaran untuk pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan BIIS belum dapat digunakan. Namun, Unit Layanan Pengadaan (ULP) Bakamla RI tetap memulai proses lelang tanpa menunggu persetujuan anggaran dari Kementerian Keuangan.
 
Kemudian pada 16 Agustus 2016, ULP Bakamla mengumumkan Lelang Pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan BIIS dengan pagu anggaran sebesar Rp400 miliar dan nilai total HPS sebesar Rp399,8 miliar. Dan pada 16 Septembernya ditetapkan lah PT CMI Teknologi sebagai pemenang dalam pengadaan itu. 
 
Pada awal Oktober  2016 diberlakukan pemotongan anggaran oleh Kementerian Keuangan. Anggaran yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan untuk pengadaan ini menjadi kurang dari nilai HPS pengadaan. Tapi ULP Bakamla tidak melakukan lelang ulang. Justru melakukan  negosiasi dalam bentuk Design Review Meeting (DRM) antara Pihak Bakamla dan PT CMIT, terkait dengan pemotongan anggaran untuk pengadaan tsb.
 
"Hasil negosiasi yaitu harga pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan BIIS menjadi sebesar Rp170,57 miliar dan waktu pelaksanaan dari 80 hari kalender menjadi 75  hari kalender," kata Wakil Ketua KPK, Alex Marwata. 
 
Pada 18 Oktober 2016, ditandatangani kontrak pengadaan oleh Bambang Udoyo selaku PPK bersama  Rahardjo Pratjihno selaku Direktur Utama PT CMIT. Nilai kontrak itu mencapai Rp170,57 miliar. Termasuk PPN dan bersumber dari anggaran APBN-P TA 2016 dalam bentuk lump sum. Akibat perbuatan ini, KPK menilai negara mengalami kerugian sebesar Rp54.2 miliar. 
 
Atas perbuatannya, Leni Marlena (LM) dan Juli Amar Maruf (JAM) disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
 
Sedangkan Rahardjo Pratjihno dijerat pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
 
560