Jakarta, Gatra.com - Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kedaulatan Benih Petani yang terdiri dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) menuntut agar Kepala Desa Meunasah Reyeuk, Kecamatan Nisam, Kabupaten Aceh Utara, Tengku Munirwan dibebaskan dari tuduhan mengedarkan benih IF8 yang belun tersertifikasi.
Menurut koalisi, hal ini merupakan pelanggaran bagi kedaulatan petani.
Baca Juga: Bernilai Tinggi, Ikan Guppy Bukan Semata-Mata Ikan Got
Muhammad Rifai dari Aliansi Petani Indonesia mengungkapkan, sudah ada 14 kasus kriminalisasi petani dari 2005-2010. Dengan adanya kasus Munirwan, bertambah satu kasus mejadi 15 orang.
"Ini yang terdeteksi oleh kita. Kemungkinan banyak yang mengalami intimidasi, larangam-larangan, dan lebih banyak lagi," keluhnya dalam konferensi pers di Kedai Tempo, Jakarta, Kamis (1/8).
Baca Juga: Perkembangan Wisata Ganggu Habitat Monyet di Gunungkidul
Munirwan hanyalah seorang petani kecil yang ditunjuk untuk membentuk BUMDES (Badan Usaha Milik Desa) berdasarkan musyawarah terkait peredaran benih IF8. Hal ini berbeda dengan keterangan Polda Aceh yang menangakapnya sebagai Direktur PT Bumides Nisami Indonesia.
Adapun Rifai mengatakan benih tersebut didapatkan dari kelompok tani di Karanganyar, Jawa Tengah.
"Selanjutnya muncul surat edaran dinas yang melarang peredaran benih IF8 karena belum jelas. Sesungguhnya benih ini hasil kegiatan pemuliaan dan penangkaran petani kecil," terangnya.
Rifai menegaskan pemerintah seharusnya memfasilitasi setiap inovasi dan melindungi para petani. Ia menuding adanya motif persaingan usaha dengan industri benih dalam kasus ini.
Dewi Kartika dari Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) menegaskan diskriminasi petani seharusnya tidak terjadi lagi karena masyarakat sipil sudah memenangkan gugatan terkait UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman.
"Meskipun penangguhan penahanan sudah dilakukan, belum tentu Pak Munirwan bebas. Bisa saja dipidana dan divonis. Polri harus memastikan kasus ini ditutup dan adanya pemulihan nama baik dan hak Pak Munirwan," tegasnya.
Agus Ruli dari Serikat Petani Indonesia (SPI) mengaggap hal ini disebabkan oleh peraturan yang tidak sinkron antara pusat dan daerah.
"Kita meminta pemerintah untuk aktif dalam kerja pemberdayaan dan sinkronisasi kebijakan-kebijakan yang ada di sesuai amanat Mahkamah Konstitusi," ujarnya.
Priadi dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) menganggap kasua ini merupakan salah tafsir dari Pasal 60 Permentan No.40 Tahun 2017 tentang Pelepasan Varietas Tanaman. Menurutnya, Permentan tersebut merupakan wujud hasil tuntutan dari gugatan mereka terhadap UU No.12 tahun 1992.
"Sementara Tafsiran MK sudah ada d permentan dan jelas itu legal. Kewajiban itu didadpat oleh dinas terkait. Jadi di sini pemerintah proaktif. "Bukan tiba-tiba ada laporan, lalu lakukan tindakan repreaif," tegasnya.
Priadi menyayangkan upaya penyilangan, pemuliaan, dan penanaman tanaman secara mandiri sudah menjadi budaya petani Indoneaia malah dikriminalisasi.
LSM yang tergabung dalam koalisi masyarakt sipil ini adalah Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Petani Indonesia (SPI), Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Indonesia for Global Justice (IGJ), Yayasan Bina Desa, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) dan Aliansi Organis Indonesia (AOI).
Selanjutnya, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Yayasan Field Indonesia, Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu (IPPHT), dan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP).