Banyumas, Gatra.com - Sebanyak 4,12 persen anak di wilayah pelosok Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, mengalami otitis media akut (OMA) atau infeksi akut pada telinga tengah. Temuan ini berdasarkan riset yang dilakukan terhadap 631 siswa pada dua sekolah dasar (SD) di Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas tahun 2018 lalu.
Dosen Biologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Dr. Daniel Joko Wahyono, M.Biomed mengatakan, penyakit yang disebabkan oleh bakteri atau virus itu menyerang anak-anak usia 5-12 tahun. Oleh karena itu, sasaran pemeriksaan atau pengambilan sampling tersebut adalah siswa SD.
"Dari jumlah itu yang terdiagnosis OMA sebanyak 26 orang. Lalu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan laboratorium yang positif terinfeksi bakteri streptoccocus pneumoniae ada 9 anak," ujarnya di sela-sela penandatanganan kerja sama Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) dengan Fakultas Biologi, Fakultas Kedokteran dan Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan di Dekanat Unsoed, Rabu (31/7).
Radang telinga tengah bagian dalam ini, kata Daniel, oleh masyarakat awal kerap disebut dengan penyakit congek. Gejalanya diawali batuk dan pilek atau infeksi saluran pernapasan atas pada anak dan membuat saluran hidung tersumbat yang tak kunjung sembuh.
Menurut dia, jika penyakit itu tak segera teratasi dapat mengakibatkan gendang telinga rusak, berlubang permanen. Selain itu, OMA dapat berkembang menjadi otitis media supuratif kronis (OMSK) hingga mengeluarkan nanah.
"Kalau radang, ini kan gendang telinga bisa pecah. Harus segera diobati dengan obat-obatan antibiotik, atau operasi hingga. Orang sini sering menyebut teleren," katanya.
Daniel mengemukakan, setelah sukses melakukan riset bersama tahun lalu, kerja sama dengan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kemenristekdikti kembali dilanjutkan. Kali ini riset menyasar pada sekitar 2.400 anak dari 12 SD di 11 Kecamatan wilayah Kabupaten Banyumas termasuk kota Purwokerto.
"Hasil riset sementara ini, tahun lalu kan dilakukan di wilayah pinggiran. Jadi congek ini muncul karena masalah pola hidup yang kurang sehat, sanitasi buruk, edukasi dan kesadaran masyarakat untuk mengobati anak yang sakit itu turut berpengaruh. Sekarang kami coba juga di wilayah perkotaan, kita lihat apakah ditemukan faktor serupa," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof.dr. Amin Subandriyo Sp.M.K.(K), Ph.D mengatakan, penyakit ini akan berpengaruh terhadap daya tumbuh kembang dan produktivitas anak. Dia berharap, riset ini dapat menghasilkan obat antibiotik yang tepat.
"Dulu, fokus kerja samanya hanya ilmu dasar. Sekarang menyangkut penanganan pasien. Maka dari itu kami mengundang Fakultas Kedokteran Unsoed. Hasil risetnya ini nanti bisa dipelajari dan dipakai oleh dokter-dokter sebagai pedoman diterapkan ke pasien," kata dia.
Amin menuturkan, hingga saat ini Lembaga Eijkman sudah bekerja sama dengan berbagai lembaga pada bidang riset, penelitian dan pengabdian masyarakat di sejumlah kota seperti Semarang, Surabaya, Medan dan Manado.