Jakarta, Gatra.com - Pakar Hukum Administrasi W. Riawan Tjandra menilai kasus mantan Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Syafruddin Arsyad Temenggung sudah bukan lagi masuk dalam ranah hukum administrasi.
Ketua Bagian HAN Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta itu mengatakan, pihaknya juga masih menunggu salinan putusan lengkap dari Mahkamah Agung soal putusan lepas (onslag) terhadap Syafruddin.
Maka Ia berpandangan jika berpatokan pada putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap Syafruddin bukan lagi masuk ranah hukum administrasi.
Riawan menilai Sjamsul Nursalim yang menampilkan piutang BDNI kepada petambak untuk diserahkan kepada BPPN seolah-olah sebagai piutang yang lancar (misrepresentasi) sudah jauh dari hukum administrasi. Ia menilai motif dari tindakan itu sudah mengandung unsur fraud dan akibat hukumnya menyimpang dari tujuan pemberian wewenang terhadapnya.
"...tindakan tersebut tidak lagi terletak di ranah Hukum Administrasi Negara dan justru dapat diletakkan di ranah Hukum Pidana Korupsi," kata Riawan dalam Seminar dengan tema "Vonis Bebas Syafruddin Siapa Salah? KPK atau MA?", di Hotel JS Luwansa, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (31/7).
Apalagi menurutnya sudah ada audit investigatif BPK yang menemukan adanya 4 penyimpangan dalam Keputusan Ketua BPPN. Selanjutnya menurut pakar hukum administrasi ini, ada batas atas dan batas bawah keabsahan tindakan diskresi dalam Keputusan Ketua BPPN dalam kasus tersebut dilampaui.
"Diukur dari sudut pengambilan kebijakan, batas Hukum Administrasi dinilai terlampaui," tambahnya.
Lalu Ia juga mengukur dari keberadaan Inpres Nomor 8 tahun 2002 sebagai beleidregel atau policy rule. Dimana diatur tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Melihat kondisi-kondisi pelaksanaan Inpres itu, Ia menilai tidak dipenuhinya dalam penerbitan SKL Ketua BPPN, yaitu Surat Nomor SKL-22/PKPS-BPPN/0404 perihal Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul Nursalim.
Surat tersebut menyatakan Sjamsul telah menyelesaikan kewajiban Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) sebesar Rp28,4 triliun kepada BPPN, termasuk penyelesaian seluruh kewajiban-kewajiban lainnya sebagaimana dipersyaratkan dalam perjanjian PKPS.
Diketahui bahwa, Majelis Hakim Kasasi dalam memutus perkara ini pun berbeda pendapat (dissenting opinion). Ketua Majelis Salman Luthan menilai perkara ini masuk pada ranah pidana, sepakat dengan putusan dari Pt DKI yang menghukum Syafruddin 15 Tahun penjara. Sedangkan Hakim anggota I Syamsul Rakan Chaniago menilai perkara ini masuk pada ranah perdata, Hakim anggota II Mohamad Askin menilai perkara ini masuk pada ranah administrasi.