Jakarta, Gatra.com - Ketua Umurn Kadin Indonesia, Rosan Perkasa Roeslani, mengatakan, untuk menghadapi permintaan pasar di Eropa dan menangkal sentimen negatif terhadap sawit nasional, pelaku usaha bersama pemerintah telah menerapkan tata kelola sawit berkelanjutan berdasarkan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
Rosan di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (31/7), menyampaikan, ISPO standarnya di atas rata-rata internasional dan mengacu kepada penilaian Komite Akreditasi Nasional (KAN).
Selain itu, tak hanya dukungan dalam sertifikasi ISPO, Rosan berharap agar Indonesia-EU Comprehensive Economic Agreement dapat segera terealisasi untuk menyelesaikan polemik terkait masuknya produk kelapa sawit Indonesia.
Baca juga: UE Tekan Sawit Indonesia, GAPKI Sarankan Retaliasi
Menurutnya, hal tersebut sngat penting untuk mejawab tekanan Uni Eropa (UE) terhadap produk kelapa sawit Indonesia yakni penerapan bea masuk sementara biodiesel asal Indonesia yang akan berlaku September mendatang jika disetujui.
"Jika sekarang industri sawit kita menemui kesulitan dalam pemasarannya, tentu efek lanjutannya akan cukup besar, mulai dari hulu hingga hilir dan sektor-sektor penunjang yang menjual barang dan jasa dalam lingkup komoditas sawit," ungkapnya.
Rosan menjelaskan, industei kelapa sawit berkontribusi terhadap penyerapan 5,5 juta tenaga secara langsung dan hampir mencapai 12 juta orang secara tidak langsung. Selain itu, Indonesia berkontribusi sebesar 40% produksi sawit dunia.
Sebelumnya, sawit Indonesia menghadapi kesulitan di pasar UE karena Parlemen UE mengeluarkan "Delegated Act Renewable Energy Directive" (RED) II pada tahun 2018 yang mengusulkan penghentian konsumsi biodiesel berbasis sawit dari Indonesia.
Jauh sebelumnya, Parlemen UE menerbitkan resolusi tentang Minyak Kelapa Sawit dan Deforestasi Hutan Hujan Tropis pada April 2017 yang melarang penggunaan produk sawit asal Indonesia. Salah satunya adalah larangan penggunaan CPO sebagai bahan bakar kendaraan bermotor oleh UE pada 2030 mendatang.
Baca juga: Darmin Optimis RI Menang Apabila Gugat Anti Subsidi UE
Selain itu, Rosan mengungkapkan bahwa produk kelapa sawit Indonesia mulai tergeser oleh Malaysia. Ia mecontohkan, Malaysia-India Comprehensuve Wxonomic Cooperation Agreement yang disepakati sejak 2011 menyebabkan tarif sawit Malaysia menurun dari 54% menjadi 45%, sedangkan sawit Indonesia tetap 54%.
"Isu ini bisa manghambat industri sawit Indonesia. Kami akan terus meyakinkan publik dunia bahwa Indonesia sudah berkomitmen menjalankan praktik pengelolaan hutan berkelanjutan seperti yang ditetapkan dalam MDG's [Millenium Development Goals] dan SDG's [Sustainable Development Goals], seharusnya tidak ada isu lagi bagi industri sawit Indonesia di pasar Uni Eropa," katanya.