Teheran, Gatra.com - Mantan wali kota Teheran, Iran Mohammad Ali Najafi (67 tahun) dijatuhi hukuman mati pada Selasa (30/7) setelah membunuh istri keduanya. Kasusnya bahkan mendapat sorotan dari media-media secara luas.
Juru bicara pengadilan Iran, Gholamhossein Esmaili menyatakan eformis terkemuka tersebut dinyatakan bersalah setelah membunuh istri keduanya, Mitra Ostad di rumah mereka di Teheran pada 28 Mei lalu. Menurut laporan media Iran, tubuh Ostad ditemukan di bak mandi setelah Najafi menyerahkan diri dan mengaku membunuhnya.
"Laporan tuduhan termasuk pembunuhan berencana, penyiksaan, dan kepemilikan senjata api ilegal. Pengadilan telah menetapkan ini sebagai pembunuhan berencana dan memutuskan hukuman mati," kata Esmaili, dikutip kantor berita resmi peradilan Mizan Online, seperti dilansir Channel News Asia, Selasa (30/7).
Baca Juga: Polisi India Investigasi Dugaan Pembunuhan Korban Perkosaan
Najafi dibebaskan dari tuduhan penyiksaan, namun menerima hukuman penjara dua tahun karena memiliki senjata api ilegal. "Hukumannya belum final dan dapat diajukan banding ke Mahkamah Agung," tambah Esmaili.
Terkait kasusnya, keluarga Ostad telah memohon agar hukum retribusi Islam diterapkan, dimana "nyawa dibayar nyawa." Pengadilan Najafi menerima liputan terperinci di media pemerintah di mana skandal terkait politikus jarang muncul di televisi.
Najafi adalah seorang ahli matematika, profesor, dan politikus veteran. Sebelumnya, ia menjabat sebagai penasihat ekonomi dan Menteri Pendidikan era Presiden Hassan Rouhani.
Baca Juga: Ungkap Pembunuhan, Polisi Gunakan Drone dan Anjing Pelacak
Dia terpilih sebagai wali kota Teheran pada Agustus 2017, tapi mengundurkan diri pada April 2018 setelah menghadapi kritik dari kaum konservatif karena menghadiri pentas tari yang dilakukan oleh anak-anak sekolah.
Najafi menikahi Ostad tanpa menceraikan istri pertamanya. Hal itu tidak biasa di Iran, meski poligami legal tetapi tidak disukai secara sosial.
Beberapa kalangan ultra-konservatif Iran mengatakan kasus itu menunjukkan kebangkrutan moral para reformis. Sedangkan kalangan reformis menuduh televisi negara yang didominasi konservatif bias dalam liputannya dan menyoroti kasus itu untuk tujuan politik.