Kabul, Gatra.com - Data PBB mengungkapkan, pasukan pro-pemerintah yang juga termasuk sekutu NATO, menewaskan lebih banyak warga sipil di Afghanistan pada paruh pertama 2019, daripada pihak pemberontak.
Dilansir BBC, Selasa (30/7), data ini mengungkap untuk pertama kalinya terjadi dalam konflik 18 tahun itu. Terlebih, di tengah operasi militer udara Amerika Serikat yang gencar terhadap Taliban.
Menurut PBB, sekitar 717 warga sipil terbunuh oleh pasukan Afghanistan dan pimpinan-NATO dibandingkan dengan pasukan militan yang hanya menyebabkan 531 korban.
Data itu muncul ketika AS terus berupaya mengakhiri perang dengan cepat.
Dalam enam bulan pertama ini, sebagian besar serangan udara dilakukan oleh pesawat tempur Amerika yang menewaskam 363 orang termasuk 89 anak-anak.
Data ini dikeluarkan oleh tim Misi Bantuan PBB di Afghanistan (Unama).
Amerika sedang mengadakan perundingan dengan Taliban untuk mencoba membuat kesepakatan penarikan pasukan sementara, secara bersamaan melakukan operasi militer udara yang intens terhadap mereka.
Para militan menolak untuk mengadakan negosiasi formal dengan pemerintah Afghanistan hingga ada agenda yang disepakati untuk penarikan AS.
Pada Senin (29/7), Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo mengatakan bahwa Presiden Trump menginginkan pasukan di Afghanistan dikurangi bersamaan dengan pemilihan presiden AS tahun 2020.
Dengan pernyataan yang menyiratkan adanya tenggat waktu secara tidak resmi ini, malah memperdalam kekhawatiran di Kabul. Ini menimbulkan pemikiran bahwa AS mungkin akan terburu-buru dalam kesepakatan dengan Taliban, yang memungkinkan penarikan sebagian pasukan sebelum pemilihan AS. Meski ada perhatian yang mungkin dimiliki mitra pemerintah Afghanistan.
Negosiator AS bertujuan untuk mencapai kesepakatan dengan Taliban pada September mendatang, dan telah bernegosiasi dengan mereka di negara bagian Teluk Qatar. Namun perang berdarah di Afghanistan terus berlanjut di tengah negosiasi damai itu.
Pada April, data PBB menunjukkan bahwa pasukan pro-pemerintah telah menyebabkan lebih banyak kematian warga sipil daripada gerilyawan (Taliban, kelompok Negara Islam dan lainnya) pada kuartal pertama tahun 2019.
Data terakhir menunjukkan bahwa tren yang belum pernah terjadi sebelumnya ini terus berlanjut.
Namun PBB mengatakan bahwa total korban sipil menurun. Ada 3.812 kematian dan cedera dalam enam bulan pertama tahun 2019, total terendah untuk paruh pertama sejak tahun 2012.
Pertempuran darat tetap menjadi penyebab utama korban sipil secara keseluruhan, terhitung sepertiga dari total, diikuti oleh pemboman bahan peledak dan operasi udara yang diimprovisasi.
"Meskipun korban berkurang, korban sipil tetap mengejutkan dan tidak dapat diterima," kata Unama.
Ini mendokumentasikan 985 korban sipil (kematian dan cedera) dari serangan gerilyawan yang dengan sengaja menargetkan warga sipil pada 1 Januari hingga 31 Juni.
"Para pihak yang terlibat konflik dapat memberikan penjelasan yang berbeda untuk tren terbaru, masing-masing dirancang untuk membenarkan taktik militer mereka sendiri," kata Kepala HAM Unama, Richard Bennett.
"Faktanya tetap bahwa hanya upaya bertekad untuk menghindari kerusakan sipil, tidak hanya dengan mematuhi hukum humaniter internasional tetapi juga dengan mengurangi intensitas pertempuran, akan mengurangi penderitaan warga sipil Afghanistan," tambahnya.
Militer AS menolak temuan Unama, dengan mengatakan pengumpulan bukti sendiri lebih akurat dan pasukannya di Afghanistan selalu bekerja untuk menghindari bahaya bagi warga sipil yang bukan pejuang. Namun militer AS tidak memberikan data korban warga sipil hingga saat ini.
Associate director Asia di Human Rights Watch, Patricia Gossman mengatakan warga sipil membayar harga yang mengerikan sebagai akibat dari serangan udara dan serangan malam yang tampaknya dimaksudkan untuk menekan Taliban dalam negosiasi.
"Meskipun perwira militer AS di Kabul berulang kali mengklaim untuk menangani korban sipil dengan serius, mereka tidak melakukan investigasi yang memadai untuk menentukan jumlah akurat atau memahami kesalahan penargetan," katanya kepada BBC, menambahkan penyelidikan pemerintah Afghanistan bahkan lebih buruk.
"Klaim yang biasa - bahwa Taliban bersembunyi di antara warga sipil - bukan alasan untuk membunuh dan melukai warga sipil dalam jumlah seperti itu, dan dalam hal apa pun tidak ada alasan untuk apa dalam beberapa kasus dapat dianggap sebagai kejahatan perang," tambahnya.