Indonesia kaya akan pangan dengan lahan yang sangat subur. Namun perlu upaya yang strategis dan jitu agar bermanfaat bagi rakyat banyak.
Jakarta, GATRAreview.com - Dengan iklim tropis, Indonesia memiliki potensi sangat besar sebagai daerah agraris. Keanekaragaman hayati Indonesia terbesar kedua di dunia setelah Brasil, karena beragamnya jenis komoditas pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan. Besarnya keanekaragaman ini karena bumi Nusantara memiliki 77 jenis sumber karbohidrat, tujuh jenis sumber lemak nabati, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayur-sayuran, 40 jenis bahan minuman, dan 110 jenis rempah-rempah dan bumbu-bumbuan.
Nah, kekayaan sumber hayati inilah yang menjadi modal utama ketahanan pangan nasional. Keanekaragaman hayati ini didukung kondisi geografis, berupa dataran rendah, intensitas sinar matahari tinggi, curah hujan yang hampir merata, dan keanekaragaman tanah, sehingga dapat digunakan untuk membudidayakan aneka jenis tanaman dan ternak.
Data Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan (2016) menunjukkan dari luas daratan Indonesia sekitar 144,5 juta hektare, terdapat 15,9 juta hektare berpotensi sebagai areal pertanian. Potensi ketersediaan lahan untuk pengembangan padi sawah seluas 7,3 juta hektare, sedangkan tanaman pangan seperti cabai, bawang merah dan tebu sebesar 7,3 juta hektare.
Lahan subur merupakan modal yang sangat potensial untuk menjadikan pertanian Indonesia sebagai sumber penghasilan masyarakat dan penopang perekonomian bangsa. Pertanian merupakan sektor yang berperan signifikan bagi perekonomian bangsa. Sektor ini, menurut data BPS (2012), menyerap 35,9% dari total angkatan kerja di Indonesia dan menyumbangkan 14,7% bagi GNP Indonesia. Fakta-fakta tersebut menguatkan pertanian sebagai megasektor yang sangat vital bagi perekonomian Indonesia.
Direktorat Perlindungan dan Perluasan Lahan (PPL) Kementerian Pertanian (Kementan) mengungkap, Indonesia masih menyimpan potensi raksasa lahan tidur yang cukup besar, seluas 33,4 juta hektare yang terdiri dari lahan pasang surut 20,1 juta hektare dan rawa lebak 13,3 juta hektare. Dari jumlah tersebut, seluas 9,3 juta hektare diperkirakan cocok untuk dikembangkan sebagai kawasan pertanian.
Untuk kebutuhan pengairan, sebaran sungai, danau, waduk, dan curah hujan yang cukup tinggi merupakan potensi alamiah untuk pertanian. Selain itu, sumber daya manusia yang sebagian besar tinggal di desa menjadi potensi yang dapat dikembangkan. Saat ini, lebih dari 43 juta tenaga kerja bermata pencaharian di sektor pertanian. Kemampuan mereka, apabila dioptimalkan dan didukung teknologi, bisa meningkatkan kapasitas produksi komoditas pertanian.
Kekayaan Holtikultura
Direktur Jenderal Hortikultura Kementan, Suwandi, menyatakan terdapat 323 jenis tanaman hortikultura yang dikembangkan di Indonesia. Tanaman hortikultura terdiri dari komoditas-komoditas sayur, buah-buahan tropis, dan tanaman hias dengan varietas bermacam-macam. Menurut Suwandi, potensi tanaman hortikultura sangat banyak karena menjadi komoditas komersial, baik pasar dalam negeri maupun ekspor.
Mengutip data BPS, Suwandi menjabarkan produk domestik bruto (PDB) hortikultura pada 2018 sebesar Rp 218,7 triliun atau berkontribusi sebesar 11,5% pada PDB sektor pertanian, kehutanan, dan perikanaan yang mencapai Rp1.900 triliun. “Hal ini menunjukkan usaha tani hortikultura semakin berkembang dan memberikan keuntungan bagi petani dan pelaku usaha,” katanya kepada Syah Deva Ammurabi dari GATRA.
Karena itulah, menurut Suwandi, Indonesia saat ini sebenarnya sudah swasembada bawang merah, cabai segar, kentang sayur (konsumsi), pisang, jambu, nenas, pepaya, melon, semangka, rambutan, krisan, dan mawar. Namun memang ada, komoditas-komoditas hortikultura yang masih impor yakni bawang putih, apel, pir, jeruk, anggur, bawang bombai, kurma, kentang atlantik (industri), dan kiwi.
Potensi Lahan Luas
Indonesia mempunyai potensi lahan yang cukup besar dan belum dimanfaatkan secara optimal. Berdasarkan data Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian (2016), dari sekitar 144,5 juta hektare daratan Indonesia, 15,9 juta hektare di antaranya berpotensi sebagai area pertanian. Potensi ketersediaan lahan untuk pengembangan padi sawah seluas 7,3 juta hektare, sedangkan tanaman pangan seperti cabai, bawang merah, dan tebu sebesar 7,3 juta hektare.
Selain itu, Direktorat Perluasan dan Perlindungan Lahan Kementerian Pertanian (Kementan) mengungkap, Indonesia masih menyimpan potensi raksasa lahan tidur yang cukup besar, seluas 33,4 juta hektare yang terdiri dari lahan pasang surut 20,1 juta hektare dan rawa lebak 13,3 juta hektare. Dari jumlah tersebut, seluas 9,3 juta hektare diperkirakan cocok untuk dikembangkan sebagai kawasan pertanian.
Untuk kebutuhan pengairan, sebaran sungai, danau, waduk, dan curah hujan yang cukup tinggi, merupakan potensi alamiah untuk pertanian. Selain itu, sumber daya manusia yang sebagian besar tinggal di desa merupakan potensi yang dapat dikembangkan. Saat ini, lebih dari 43 juta tenaga kerja bermata pencarian di sektor pertanian.
Potensi Pertanian dan Perkebunan
Kesuburan tanah Indonesia membuat berbagai tanaman pangan tumbuh. Saat ini, padi menjadi sumber pangan mayoritas rakyat Indonesia. Menurut data BPS, luas lahan padi yang panen pada 2017 mencapai 15,7 juta hektare, dengan lahan hampir 7 juta hektare berada di Pulau Jawa. Di samping itu, terdapat beberapa area pertanian yang cukup luas seperti ubi kayu 19 juta hektare, jagung 5,5 juta hektare, dan kedelai 355.000 hektare.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), Kementan, Fadjry Djufry, menyatakan, pemerintah melalui Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (BB-Pascapanen) telah mengembangkan tepung dari sumber pangan karbohidrat lokal (nonberas dan nongandum). “Kami memanfaatkan sumber karbohidrat potensial seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, sorgum, sagu, garut, dan pisang,” tuturnya kepada GATRAReview.
Tak hanya sektor pertanian, komoditas sektor perkebunan di Indonesia berpeluang untuk dioptimalkan. Menurut BPS pada 2016 perkebunan menyumbang Rp.429 triliun terhadap PDB nasional. Data Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) menyebutkan, pertumbuhan yang berkontribusi pada PDB dari 2015, 2016 , hingga 2017. Pada 2015–2016 naik 5,7%, dan pada 2016–2017 meningkat 9%. Sementara itu, capaian di 2017 terhadap kontribusi PDB sebesar Rp471.31 triliun.
Dari data tersebut, ternyata hanya 15 komoditas dari total 127 komoditas perkebunan yang berkontribusi menyumbangkan PDB sektor tanaman perkebunan. Ke-15 komoditas perkebunan ini antara lain kelapa sawit, kopi, kakao, kelapa, teh, vanili, dan rempah-rempah seperti lada dan cengkeh. Dari komoditas tersebut, perkebunan kelapa sawit menyumbangkan PDB terbesar, yakni Rp209 trilun, di area perkebunan dengan total luas 14 juta hektare di Indonesia.
Ekspor CPO Terbesar di Dunia
Dari sisi kinerja ekspor juga cukup moncer. Perkebunan kelapa sawit mengalami peningkatan sebesar 25,8%, dari 25,9 juta ton pada 2016 menjadi 30,9 juta ton pada 2017 atau dari nilai ekspor US$18,2 miliar (Rp241,9 triliun) menjadi US$22,9 miliar (Rp307,4 triliun). Pada 2017, dari produksi 37,8 juta ton, 88,65% di antaranya untuk kebutuhan ekspor, sedangkan sisanya dikonsumsi dalam negeri. Capaian tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara produsen dan pengekspor CPO dan minyak sawit terbesar di dunia.
Dirjen Perkebunan Kementan, Kasdi Subagyo, mengatakan Indonesia memiliki keunggulan hasil perkebunan, yakni kelapa sawit, karet, kopi, dan kakao. “Dari perspektif kontribusi perekonomiani, sawit yang paling besar. Kita setiap tahun mengekspor tidak kurang dari 34 juta ton CPO,” ujar Kasdi kepada Anjasmara Rianto Putra dari GATRA.
Jangan Fokus Melulu pada Pajale
Tak pelak lagi, Indonesia memang mempunyai potensi pangan yang besar. Maka tak mengherankan, Kementan mendambakan Indonesia dapat menjadi lumbung pangan dunia pada 2045. Toh, kekuatan pangan ini bak raksasa tidur.
Meskipun memiliki modal yang sangat potensial, produksi sektor pertanian di Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan sendiri. Menurut peneliti IPB Agus Pakpahan, ciri alam tropika seperti Indonesia adalah memiliki banyak jenis tanaman, namun sedikit volumenya. Berbeda dengan alam subtropis, yang sedikit jenis tanamannya namun besar volumenya.
Maka, untuk mengelola alam Indonesia memang harus memiliki strategi jitu. Hal tersebut, menurut Agus, karena selama ini terjadi kesalahan persepsi dalam menerjemahkan arti pertanian. Agus berfilosofi, pertanian bukan sekadar bercocok tanam atau berternak, melainkan aktivitas yang sangat kompleks.
“Kita menerjemahkan pertanian bukan agriculture, melainkan farming. Ini keliru. Kalau konsep agriculture ada logistik, marketing, R&D (riset dan pengembangan), macam-macam,” kata Agus kepada Novrizaldi dari GATRA. Profesor riset dari Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) Bogor ini mengatakan, Kementerian Perikanan dan Kehutanan di Indonesia dipisah, tetapi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, kedua bidang tersebut digabung.
Saat ini, padi menjadi sumber pangan mayoritas rakyat Indonesia. Menurut data BPS, luas lahan padi yang panen pada 2017 mencapai 15,7 juta hektare, dengan lahan hampir 7 juta hektare berada di pulau Jawa. Di samping itu terdapat beberapa area pertanian yang cukup luas seperti ubi kayu 19 juta hektar, jagung 5,5 juta hektare, dan kedelai 355.000 hektare.
Namun, Agus Pakpahan mengkritik kebijakan pemerintah yang selama ini dinilai terlalu fokus pada sektor pertanian, khususnnya padi. “Kita tidak mengerjakan pertanian tropika, tapi malah melakukan monokultur dan melupakan biodiversitas. Padahal kekayaan tropika kita banyak jenisnya. Contohnya untuk karbohidrat kita punya kekayaan padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar. Selama ini, kita hanya fokus ke padi saja. Kita bisa membuat tepung atau saya istilahkan tepungisasi. Bukan hanya sehat, tapi juga menumbuhkan ekonomi regional, misalnya menumbuhkan sentra produksi sagu. Sehingga akan lahir logistik nasional untuk bahan karbohidrat,” ujar Agus.
Senada dengan Agus, pakar pangan yang juga Dekan Fakultas Pertanian IPB, Suwardi, mengatakan swasembada pangan non-beras justru terhambat karena pemerintah terlalu fokus kepada pajale (padi jagung, dan kedelai). Menurut Suwardi, pengembangan tanaman substitusi beras perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah melalui dinas tanaman pangan di daerah.
“Potensi lahan bisa dipetakan, masyarakat perlu diedukasi untuk mengembangkan komoditas pangan selain beras yang tumbuh subur di daerah setempat. Kampanye makan karbohidrat non beras juga perlu digalakkan pemerintah melalui imbauan makan makanan karbohidrat non-beras pada acara di kantor dan instansi pemerintah,” ujar Suwardi kepada Erlina Fury Santika dari GATRAReview.
Walaupun begitu, perjuangan untuk membangun pangan alternatif rakyat bukannya tidak ada. Menurut Fadjry Djufry, melalui Balai Besar (BB) Litbang Pascapanen telah mengembangkan tepung dari sumber pangan karbohidrat lokal (non-beras dan non-gandum). “Kami memanfaatkan sumber karbohidrat potensial seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, sorgum, sagu, garut, sorgum, dan pisang,” katanya lagi.
Dudun Parwanto