Purwokerto, Gatra.com – Riset Tim Geologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto menunjukkan bahwa ancaman tsunami di pesisir selatan Jawa bukan isapan jempol belaka. Pesisir selatan telah berkali-kali dihantam tsunami, meski bukan tsunami raksasa yang dipicu gempa megathrust.
Ahli geologi struktur dan kegempaan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Asmoro Widagdo mengatakan, pengeboran dengan kedalaman tiga meter dan jarak terjauh dari pantai lima kilometer di pesisir Cilacap menunjukkan bahwa daratan pernah dihantam tsunami.
Tetapi, ia mengatakan bukan berarti jarak luncuran air menjangkau lima kilometer dari posisi pantai sekarang. Pasalnya, batas laut dan daratan selalu berubah. Bisa jadi bertambah atau berkurang karena abrasi.
“Ada jejak tsunami di jarak lima kilometer dari pantai sekarang. Tapi, kita belum sampai kesimpulan di mana batas pantai purbanya,” ucapnya kepada Gatra.com, beberapa waktu lalu.
Dia mengatakan, jejak tsunami raksasa tak terekam setidaknya sampai 11.500 tahun lalu. Namun begitu, bukan berarti masyarakat boleh lengah. Warga mesti mempersiapkan diri karena ancaman tsunami bisa datang sewaktu-waktu.
“Masyarakat harus diedukasi bahwa tsunami memang ada. Kemudian bagaimana responnya, masyarakat harus paham mitigasi,” jelasnya.
Asmoro mengatakan, dalam mitigasi bencana tsunami, umumnya dipahami bahwa warga harus mengungsi ke dataran lebih tinggi. Masalahnya, di Cilacap dataran tinggi jauh dari jangkauan.
Di beberapa kawasan, bahkan wilayahnya merupakan bidang datar sehingga gelombang tsunami bisa menjangkau berkilo-kilo meter. Sementara, warga hanya memiliki waktu yang singkat untuk menghindar dari tsunami.
Sebab itu, dibutuhkan selter atau pengungsian penyelamatan sementara di kawasan pesisir. Shelter ini berfungsi sebagai titik kumpul sekaligus titik penyelamatan tercepat.
“Saya pernah melihat di Kroya masyarakat secara swadaya membuat shelter. Bangunannya tinggi,” ucapnya.
Dia juga menyarankan agar pemerintah di kawasan pesisir, seperti Cilacap dan Kebumen mepersiapkan bangunan-bangunan tinggi yang bisa menjadi pusat evakuasi cepat. Sebab, seringkali jalan macet oleh luapan kendaraan dari arah pesisir ke wilayah pegunungan yang berada di sisi utara.
Soal akses jalan ini, Asmoro juga menyoroti jalan utama di Cilacap yang rata-rata melajur dari timur-barat, atau sejajar pantai. Adapun jalur yang mengarah ke utara jumlahnya terbatas. Kalaupun ada, jalan itu bukan lah jalur utama.
“Kalau melintas di jalan utama itu tidak bisa menyelamatkan, karena sejajar dengan pantai,” ucapnya.
Untuk itu, ia mendorong agar pemerintah mempersiapkan infrastruktur dengan pertimbangan mitigasi bencana. Salah satu yang didorong adalah dengan membangun jalur-jalur besar yang mengarah ke utara. Dengan demikian, saat terjadi ancaman tsunami, masyarakat bisa mengevakuasi diri dengan cepat.
“Mungkin sekarang belum terpakai. Tapi di masa depan, mungkin saja akan sangat berguna,” kata dia .