Palembang, Gatra.com – Keberadaan pelabuhan Tanjung Api-Api (TAA) di ujung timur Sumsel, dinilai berimbas pada keberlangsungan hutan mangrove Sumsel. Sebagai benteng terakhir akan daratan Sumsel, hutan mangrove (bakau) harusnya dipertahankan.
Direktur Walhi Sumsel, Khairul Sobri memaparkan keberadaan pelabuhan TAA mengancam hutan mangrove seluas 12.000 hektar (ha) yang berperan mencegah abrasi air laut pada pertemuan air sungai di Sumsel. Saat ini pun, kondisinya sudah bisa rusak, jika aktivitas pengerukkan dilaksanakan demi pelabuhan tersebut.
“Sejak awal, keberadaan TAA mengancam kawasan hutan lindung di Sumsel. Walhi menyebutnya sebagai bencana ekologis, atas kawasan strategis pelabuhan,” ujarnya, dalam diskusi yang digelar pemuda himpunan kerukunan tani Sumsel, Jumat (26/7).
Hutan bakau yang berperan sebagai simpanan air tawar juga menyimpan karbon jangka panjang bagi dunia. Kerusakannya akan mengakibatkan banjir besar, gelombang air laut meningkat dan erosi yang akan dirasakan Sumsel. “Sisi lainnya, 2.030 ha reklamasi lahan di Kawasan Tanjung Carat mengakibatkan air sungai keruh and hilangnya biodata laut khususnya ikan,”sambungnya.
Padahal, areal tersebut juga terdapat 12 desa yang berada di dua kecamatan dengan mayoritas masyarakatnya menggantungkan hidup sebagai nelayan. Pembangunan TAA, mengancam perolehan ikan dan pendapatan nelayan di daerah tersebut. “Ada sekitar 38.790 jiwa masyarakat hidup dan menopang penghasilan pada hasil tangkapan ikan,” terangnya.
Selain hutan mangrove dan biodata laut, keberadaan pelabuhan TAA berpengaruh pada keberadaan Taman Nasional (TN) Sembilang dan Berbak. Bentang alam yang telah ditetapkan menjadi biosfer dunia itu, sangat terancam saat pengembangan pelabuhan ke depannya. “Saat ini luasan peruntukkan pelabuhan TAA mencapai 2.030 ha, sedangkan di Tanjung Carat seluas 2.201, 84 ha dan itu berdampingan dengan hutan lindung di Sumsel,” ujar Sobri.
Walhi juga menyoroti mengenai komoditas batubara yang menjadi bagian dari aktivitas perdagangan di pelabuhan tersebut. Menurut Sobri, eksploitasi batubara terutama penambangan terbuka sangat buruk bagi lingkungan. Eksploitasi besar-besaran membutuhkan biaya pemulihan lingkungan yang tidak murah dan tidak sebanding dengan perolehan ekonomi yang diperoleh terutama oleh pemerintah.
“Lagi-lagi, masyarakat yang merasa akibatnya, seperti kesehatan dan lingkungan yang rusak di kawasan ekploitasi dengan terjadinya banjir, air sungai keruh dan lainnya,” pungkasnya.
Walhi berpegang pada pemanfaatan sumber daya alam dengan tata kelola mengedepankan daya dukung dan daya tampung lingkungan, tata produksi yang mensejahterakan masyarakat dan tata kuasanya mengendapkan partisipasi dan transparansi.