Palembang, Gatra.com – Keinginan membuka jalur perdagangan laut melalui pembangunan pelabuhan Tanjung Api-Api hendaknya diiringi dengan kemampuan daerah menjadi produsen. Hal ini penting dalam mendorong ekonomi daerah yang tidak hanya berbicara mengenai jasa angkutan laut atas keberadaan pelabuhan tersebut.
Hal ini disampaikan Pengamat Ekonomi dari Unsri, Subardin saat mengisi diskusi publik yang diselenggarakan HKTI, Pemuda Tani Sumsel. Dalam diskusi yang mengupas urgensi pembangunan TAA yang berdampak pada faktor pangan lokal di Sumsel, Subardin lebih meyorotin bagaimana Sumsel harusnya menjadi produsen terlebih dahulu baru kemudian mengembangkan pelabuhan internasional.
“Seharusnya Sumsel menjadikan dirinya produsen dulu, misalnya giat membangun industri pengelolaan. Jangan sampai terus mengulang kesalahan untuk mengekspor barang-barang mentah yang kemudian diolah oleh negara lain dan kembali masyarakat Sumsel menjadi konsumennya,” terangnya.
Dia mengatakan, Sumsel menjadi produsen dengan membangun hlirisasi bagi produk-produk lokal, misalnya membangun industri pengelolaan karet, sawit, kopi dan potensi alam lainnya yang tersedia di Sumsel. “Misalnya, Sumsel berani mendirikan pabrik pengelolaan sayur mayur, industri ban, atau inovasi lain dari komoditas karet, sampai pada membangun roasting kopi dalam skala besar. Hal ini akan lebih menguntungkan masyarakat Sumsel,” terangnya.
Ketimbang, pemerintah Sumsel hanya mengandalkan jasa angkut guna menghidupkan pelabuhan dengan nilai anggaran yang besar. Sumsel, sambung dia, harusnya bisa mencontoh beberapa negara yang memiliki pelabuhan besar, namun mampu menjadi produsen meski mereka tidak memiliki lahan tanaman.
“Misalnya Singapura, Malaysia, yang hampir 70% ekspor komoditas karet Sumsel ke sana, namun di sana, karet Indonesia diolah, menjadi merk mereka baru kemudian dijual melalui pelabuhan besar mereka. Bisa dihitung berapa keuntungan pengelolaan hingga memiliki pelabuhan. Nah, Sumsel harusnya demikian,” ungkapnya.
Sehingga, ia menegaskan Sumsel sama sekali tidak hanya menjadi tuan rumah atas dermaga mercusuar, tapi di kenal karena kayanya sumber daya alam yang dimiliki. Sumsel, termasuk daerah dengan tingkat eksploitasi yang besar, mulai dari minyak, gas, batubara, dan komoditas pangan dan perkebunan.
“Lagi-lagi, Sumsel harus bisa mencontoh seperti daerah tetangga, Lampung. Di sana, ubi saja diolah, untuk kemudian menjadi komoditas yang dijual dengan merk Lampung dan Sumsel makan juga ubi itu yang diolah menjadi tepung sagu. Hitung berapa keuntungan Lampung saat mampu menanam dan mengelola, menjadi produsen, ya minimal dalam beberapa tahapan produksi awal,” pungkasnya.
Kebutuhan pembangunan industri di pelabuhan TAA juga perlu dorongan peningkatan kemampuan sumber daya manusia. Masyarakat Sumsel hendaknya terus dipaksanakan berpengetahuan dan mengembangkan kemampuan akan lingkungannya, sebagai jawaban menghadapi kompetisi ekonomi saat ini.
Dalam diskusi itupun dihadiri Direktur Walhi Sumsel, Khairul Sobri dan sejumlah penggiat ekonomi pertanian di Sumsel.
Ketua Dewan Kopi Sumsel (DKS), Zain Ismed menilai keberadaan pelabuhan TAA masih diperlukan guna mengulang sejarah Sumsel saat menjadi produsen kopi besar pada sekitar tahun 1980an. Saat itu, di Sumsel memiliki puluhan pengusaha kopi yang mengandalkan jasa angkutan melalui Sungai Musi. Dalam perkembangannya, kemampuan Sungai Musi sudah tidak mampu lagi dilalui kapal-kapal niaga yang berimbas pada ongkos angkut dan harga kopi. Hal ini yang mendorong, pelabuhan TAA hendaknya dilaksanakan.
"Aktivitas perdagangan itu, terutama ekspor perlu mempertimbangkan akses transportasi. Jika sebagian besar, kopi Sumsel akhirnya lari ke tetangga, padahal Sumsel mampu mengembangkannya lebih besar, misalnya menghidupkan perusahaan roasting-roasting kopi di Sumsel," ujarnya.