Jakarta, Gatra.com - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sedang menyiapkan peta daerah rendaman tsunami skala detail 1:10.000. Sebagai salah satu langkah pembuatannya, dilakukan penelitian paleotsunami.
Penelitian paleotsunami berangkat dari apa yang disebut sebagai geomitologi, suatu pendekatan mempelajari perilaku bencana melalui dongeng-dongeng masa lampau. Penelitian ini sendiri merupakan upaya penggalian deposit tsunami yang dilakukan di pesisir Pantai Selatan Jawa di sekitar Cilacap dan Yogyakarta. Uniknya, penelitian ini melacak titik bekas tsunami di masa lampau melalui kisah mitos Ratu Kidul.
"Dari sudut pandang geomitologi sebenarnya mitos dan cerita rakyat adalah metafora. Yang menceritakan tentang sebuah kejadian riil di masa lalu yang kemudian dibungkus dengan kepercayaan masyarakat," ucap Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Eko Yulianto saat memberi pernyataan pers di gedung LIPI, Karet Semanggi, Jakarta Pusat, Kamis (25/7).
Berhubungan dengan itu, Eko menyebutkan bahwa kalau ditambah dari perspektif geologi yang diketahui bahwa peristiwa alam termasuk bencana adalah sifatnya seperti siklus, maka sebenarnya bisa ditemukan bahwa cerita-cerita rakyat itu merupakan pesan tentang peristiwa terkait ancaman bencana alam di masa lalu.
"Sehingga bisa digunakan untuk kepentingan masa sekarang secara khusus pada upaya pengurangan resiko bencana," tambah Eko.
Dari penelitian ini, Eko menyebutkan hasilnya bisa dijadikan acuan untuk memahami perilaku bencana, konteksnya adalah belajar dari apa yang pernah terjadi, sehingga kedepannya pendirian infrastruktur seperti rumah dan gedung-gedung bisa diminimalisir resikonya.
Peta rendaman tsunami itu sendiri ditargetkan selesai pada tahun 2020 dengan 12 daerah tahap awal seperti Pangandaran, Cilacap, Kebumen, Purworejo, Yogyakarta, dan Pacitan. Amggaran untuk peta ini kata Eko kurang lebih di angka Rp 500 juta.
Bencana dan Ketidakpedulian Manusia
Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Eko Yulianto melihat perlu ada yang diubah dalam skema penanganan dan mitigasi bencana, khususnya tsunami. Menurutnya, pemicu ratusan atau bahkan ribuan korban jiwa juga dipicu akibat ketidakpedulian manusia dengan perilaku alam.
"Tidak perlu kok sebenarnya bencana Lombok 5.000 orang meninggal, Palu 2.000 orang lebih meninggal, kemudian kita sebut itu bencana. Setiap tahun di jalan 15.000 orang mati dan kita tidak menyebut itu bencana, padahal akar persoalannya sama, yaitu ketidakpedulian," katanya.
Ketidakpedulian ini Eko contohkan dengan kenyataan di pesisir Pantai Carita bahwa masih ada rumah warga yang jaraknya hanya 5-10 meter dari pantai. Jangankan dengan tsunami, kata Eko, dengan ombak besar saja kemungkinan rumah tersebut bisa jadi korban.
"Kita masih berkutat pada aspek ketidak pedulian pada alam. Saya terus terang di dalam LIPI dan lembaga terkait lainnya bahwa kita (lembaga penelitian dan pendidikan tinggi) akan dikatakan gagal kalau tidak bisa membangun masyarakat yang rasional," tambah Eko.
Eko menerangkan pernyataannya ini didasarkan dengan adanya amanat di Undang-Undang yaitu harus mencerdaskan kehidupan bangsa, sesungguhnya adalah membangun pola pikir masyarakat yang rasional.
"Tujuan utama dari pembangunan itu kan kalau dari Undang-Undang adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, artinya masyarakat juga harus dibuat semakin rasional," katanya.