Jakarta, Gatrareview.com - Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP), Kementerian Pertanian (Kementan), Agung Hendriadi mengungkapkan bahwa Indonesia sudah berhasil mencapai ketahanan pangan, setidaknya dalam beberapa komoditas pangan straegis. "Kita sudah mencapai dan kita pada track yang betul. Kenapa saya katakan begitu? Kita sudah swasembada padi, jagung, bawang merah, dan cabai. Telur dan daging ayam juga sudah swasembada," tegasnya kepada Syah Deva Ammurabisari Gatrareview.com. Saat ini Kementan sedang berupaya menggenkot produksi daging sapi, bawang putih, dan kedelai agar mencapai swasembada. "Itu yang kita dorong segera. Aritnya kita berada pada track yang betul," Agung menambahkan.
Dalam upaya menuju Lumbung Pangan Dunia tahun 2045, Kementan menargetkan swasembada kedelai tercapai pada tahun 2020, swasembada bawang putih pada 2021, dan swasembada daging sapi pada tahun 2026. Terkait peringkat ketahanan pangan yang masih berada di peringkat 65 berdasarkan Global Food Index pada tahun 2018, Ia menganggap sudah terjadi perbaikan karena pada tahun sebelumnya masih peringkat 73.
Kendala pertama dalam upaya menuju ketahanan pangan adalah iklim. Oleh karena itu, Kementan menyiapkan sejumlah upaya antisipasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. "Misalnya kita menyiapkan varietas-varietas unggul yang nanti tahan kekeringan. Kalau hortikultura tahan curah hujan tinggi dan sebagainya, itu sudah coba kita mulai," Agung menjelaskan.
Kendala kedua adalah sumber daya manusia (SDM) pertanian yang umurnya semakin tua. Pihaknya mendorong anak-anak muda untuk kembali terjun ke dunia pertanian melalui pengenalan teknologi-teknologi canggih. Ia mencontohkan penggunaan traktor untuk mengolah lahan dan penggunaan mesin pemanen (harvester) untuk menggantikan arit.
Kendala selanjutnya adalah meningkatkan margin (selisih) harga yang diterima petani. Menurut Agung, cara yang dapat dilakukan adalah melalui peningkatan efisiensi energi. "Kalau tadinya satu hektar kita harus mengeluarkan Rp 10 juta, bisa nggak kita hanya mengeluarkan Rp 6 juta? Itu adalah upaya-upaya yang kita lakukan. Ada efisiensi," tuturnya. Kementan juga memberikan subsidi pupuk, pestisida, benih, dan alat mesin pertanian kepada para petani.
Agung berpendapat kelas menengah Indonesia yang semakin banyak menyebabkan konsumsi beras semakin turun. "Kita pelajari sekarang. Kira-kira lima tahun lalu [konsumsi beras] 130 kg/kapita/tahun. Sekarang Cuma 114 kg/kapita/tahun. Bahkan, di beberapa daerah sampai 90 kg/kapita/tahun. Tapi, konsumsi sayuran, buah, dan protein hewani kita naik. Artinya orang nggak bergantung dengan beras," tuturnya. Bahkan sudah banyak penduduk Indonesia yang sarapannya tidak lagi mengonsumsi nasi. "Ketergantungan (kepada beras) itu makin lama makin menurun dengan meningkatnya pendapatan masyarakat," ucapnya.
Di sisi lain, Agung mencermati meningkatnya tren konsumsi gandum hingga mencapai 10,16 juta ton pada tahun 2018. Salah satunya adalah konsumsi gandum kita meningkat karena banyak produk makanan berbasis tepung gandum. "Makanya GAPPMI [Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia] kita undang [mengembangkan bahan pangan lokal non-gandum], ujarnya. Salah satu upaya yang dilakukan Kementan adalah melalui pengembangan industri bahan baku pangan lokal berbasis tepung.
Agung mengungkapkan pihaknya berusaha mengajak para pelaku industri untuk menampung dan memproduksi bahan baku pangan lokal. Pihaknya tengah mengembangkan industri pangan berbahan baku lokal di 10 lokasi sebagai berikut :
Sagu : 1. Kepulauan Meranti (Riau), 2. Karimun (Kepulauan Riau), 3. Seram Bagian Tengah (Maluku), dan 4. Merauke (Papua)
Jagung : 5. Pangkajene Kepulauan (Sulawesi Selatan), 6. Gorontalo (Gorontalo), dan 7. Kupang (NTT)
Singkong : 8. Lampung Timur (Lampung), 9. Sukabumi (Jawa Barat), dan 10. Grobogan (Jawa Tengah)
Selain pengembangan industri pangan berbahan baku lokal, Kementan juga mengembangkan program pangan B2SA (Beragam, bergizi seimbang, dan aman). Namun, Ia menilai upaya tersebut harus didukung oleh ketersediaan pangan. "Produksi hortikultura harus meningkat, produksi daging kita harus meningkat, produksi ikan harus meningkat. Jadi ada peningkatan produksi, kemudian bagaimana mengubah pola konsumsi," terangnya.
Kemudian, Agung juga mencermati pentingnya kualitas dan keamanan pangan. "Orang makin banyak duit pasti mengedepankan kualitas lebih baik. Akan ragu-ragu kalau memakan sesuatu, pasti memakan sesuatu yang aman. Itu adalah tuntuan. Tugas kita adalah bagaimana kita menyediakan pangan berkualitas dan aman," tuturnya. Oleh karena itu, pihaknya melakukan pengembangan standar PSAT (Pangan Segar Asal Tumbuhan) dan pelabelan produk-produk pangan.
Agung menjelaskan pihaknya berupaya untuk memotong rantai pasok agar pangan lebih mudah diakses oleh masyarakat. Ia berpendapat jangan sampai banyak pedagang perantara yang terlibat. "Dengan cara seperti itu [memotong rantai pasok], maka proses distribusi akan lebih efisien, ada yang namanya margin [selisih] perdagangan dan pengangkutan pasti akan lebih rendah, sehingga harga di konsumen lebih rendah. Harga produsen tetap, harga di konsumen turun di bawah," ungkapnya.
Salah satu upaya BKP untuk memeotong rantai pasok adalah dengan mendirikan Toko Tani Indonesia (TTI). "Toko Tani Indonesia (TTI) langsung ambil barang ke petani. Kemudian langsung kirim ke toko, tidak melalui mana-mana. Apa yang diminta toko dimintakan ke patani untuk kita kirim," jelasnya
.
Berbeda dengan sebelumnya yang memanfaatkan operasi pasar, kini TTI berfokus memanfaatkan jaringan gerai-gerai toko tani untuk memasok berbagai kebutuhan pokok dengan harga terjangkau. "Kalau di pasar itu ada 10 gerai, maka saya taruh di sepuluh gerai [TTI]. Nggak usah pakai foto-foto wartawan [ketika operasi pasar]. Maka di situ akan terpengaruh harganya. Itu jauh lebih efektif [stabilisasi harga]," katanya.