Jakarta, Gatra.com - Komisi VI DPR meminta masukan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Asosiasi Spiritus & Ethanol Indonesia (ASENDO), dan Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) atas perjanjian perdagangan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Pakistan soal impor.
"Tarifnya dinaikkan, jangan diturunkan," kata salah seorang pengurus APTRI, yang mengaku sebagai petani tebu dalam rapat kerja terkait Perjanjian Perdagangan Preferensial dengan Pakistan di ruang Komisi VI DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (24/7).
Pada rapat tersebut disebutkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan menurunkan biaya tarif impor menjadi nol persen.
Anggota APTRI menyebut jika tarif impor yang ditetapkan akan sangat merugikan petani tebu.
Sebelumnya, Indonesia menetapkan sebesar 30 persen, lalu sekarang berencana memangkas hingga nol persen.
“Harga etanol dari impor akan lebih murah, tapi itu sama saja membunyikan lonceng kematian bagi petani tebu. Tetes ini akumulasi keuntungan petani di samping gula. Kalau tidak laku, pendapatan petani bakal turun," tambahnya.
Lukmanul Hakim, Ketua MUI, mengatakan bahwa itu kebijakan yang tidak masuk akal. Tarif 30 persen saja, masih sangat rendah jika dibandingkan dengan Pakistan sendiri yang menetapkan 90 persen, dan bahkan, India 150 persen untung impor alkohol.
"Di South East Asia (SEA) sendiri, Thailand, Malaysia, dan Kamboja, masih menerapkan harga yang tinggi ketimbang Indonesia, padahal kita tahu, Thailand dan Kamboja bukan negara mayoritas muslim,” katanya.
Lukman memandang persoalan ini dari perspektif moral keagamaan.
“Semata-mata bukan persoalan bisnis, ini merupakan golongan alkohol yang dapat dikonsumsi manusia. Peredarannya akan sulit dikontrol, bisa disalahgunakan muda-mudi," kata Lukman.