Jakarta, Gatra.com - Ketua Umum Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo), Moenardji Soedargo mencemaskan penurunan ekspor karet pada semester satu yang hanya mencapai 200 ribu ton.
"Ini kali pertama penurunan hingga ratusan ton. Ini kami laporkan pemerintah dan pemerintah langsung identifikasi. Berarti, ini sebenernya sangat mengkhawatirkan," katanya ditemui di Kantor Menko Perekonomian, Jakarta, Rabu (24/7).
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono mengatakan, Kementan menemukan wabah penyakit gugur daun karet yang disebabkan oleh cendawan Pestalotiopsis sp. Akibatnya, produksi menurun.
Moedarjdji berujar, secara otomatis gangguan hama menganggu pasokan industri karet. Disinyalir, lahan perkebunan karet yang terkena wabah sebesar 15%. "Ekspor terganggu. Karena magnitude 15%. Semester satu sangat terasa," ucapnya.
Apalagi, ia mengatakan, saat ini tidak banyak lagi stok karet. Hal ini, sekaligus membantah narasi pasar yang berkembang mengenai produksi karet yang masih berlimpah.
"Narasi pasar ekonomi pertumbuhan turun, mobil berkurang. Menurut saya mobil lama tetap jalan. Jadi masih butuh ganti ban. Artinya, terlalu naif kalo market bilang ekonomi sedang lesu. Berdampak pada pengurangan konsumsi karet. Jadi, lesson learn, negara produksi kalo sudah sampe di bottom akan sangat berharga," ia menjelaskan.
Menurut Monardji, meski Gapkindo merupakan bagian supply chain, ujungnya konsumen market yang lebih menentukan harga. Saat ini terjadi ketidakadilan harga di market. Sebab, di saat supply yang semakin terbatas, harga karet masih belum beranjak naik.
Bila kondisi ini dibiarkan, ia khawatir keberlangsungan industri sawit akan terancam. Dampaknya, petani karet akan semakin menderita.
"Bagaimana keberlangsungan industri karet seperti ini, gimana bisa berlangsung. Kalo mau ingin berlangsung mesti harganya tinggi. Kalo di taken ini, tidak nyambung dengan fundamentalnya," pungkasnya.