Jakarta, Gatra.com - Polisi menyebutkan penanganan konflik lahan di Kabupaten Mesuji, Lampung, berbeda dibandingkan dengan konflik lainnya di Indonesia. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan perbedaan itu dikarenakan Mesuji memiliki catatan konflik yang panjang sejak 2012.
"Mesuji punya catatan sejarah yang berbeda. Artinya ketika konflik itu antara satu kelompok dengan kelompok yang lain itu diselesaikan hanya dengan pendekatan penegakan hukum kepada salah satu pihak, maka konflik itu tidak langsung berhenti pada saat itu juga. Oleh karenanya perlu pendekatan lebih soft yang dilakukan oleh Kapolda, Pangdam, dan Gubernur," kata Dedi saat ditemui di Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu, (24/7).
Ia mencontohkan perbedaan penanganan pada konflik lahan di Jambi. Pada saat terjadinya konflik, aparat gabungan kepolisian dan TNI langsung melakukan penegakan hukum terhadap 59 tersangka yang terindikasi kuat melakukan pelanggaran hukum, baik berupa penganiayaan secara kolektif maupun tindakan pengrusakan fasilitas. Polisi juga mudah mengumpulkan barang bukti berupa senjata api dan senjata tajam di lokasi kejadian perkara.
Dedi melanjutkan titik terang dari penyelesaian konflik lahan itu bisa terungkap setelah aparat berhasil mengumpulkan seluruh bukti berupa hak keperdataan kepemilikan di petak Register 45 tersebut.
"Mereka saling mengklaim bahwa mereka yang punya hak untuk menggarap petak 45 itu. Itu menunjukkan konflik agraria yang selalu berkelanjutan, makanya untuk menjaga status quo kepemilikan tanah di petak 45 tersebut, pemerintah turun tangan, pemerintah daerah, baik tingkat kabupaten maupun dari kementerian terkait ya, karena itu batas wilayah hutan lindung," ujar Dedi.
Penanganan konflik di Mesuji menurutnya dilakukan setelah situasi mereda. Sebab kedua kelompok yang berkonflik telah kehilangan anggota keluarganya. Bila tindakan hukum langsung dilakukan maka dikhawatirkan akan membuat situasi menjadi tidak kondusif.
"Memang ada banyak korban, ada 13 korban, (sebanyak 3 orang) meninggal dunia dari kedua belah pihak. Setelah cooling down ya kemudian kita melakukan pendekatan-pendekatan persuasif yang secara komprehensif dengan mengkomunikasikan pemerintah daerah, aparat tokoh kepada masyarakat kedua kelompok tersebut. Baru upaya-upaya penegakan tetap dilakukan dalam rangka memitigasi jangan sampe konflik agraria tersebut terjadi berulang terus yang mengakibatkan jatuh korban kedua belah pihak," katanya lagi.
Diketahui, pada hari ini (24/7) aparat keamanan dan tokoh masyarakat Kabupaten Mesuji bertemu untuk membicarakan penanganan konflik. Dedi berharap pertemuan itu berbuah kesepakatan yang adil untuk kedua belah pihak.
"Biar sama-sama dapat mengelola tanah itu secara damai, harus ada pendekatan langsung menyentuh kepada kedua belah pihak dan tidak boleh bersikeras tidak boleh saling mengklaim. Jika saling klaim seperti itu konflik tidak akan selesai, tidak mungkin setiap konflik penegakan hukum terus. Karena pengalaman sudah beberapa kali terjadi di Mesuji," tutupnya.