Jakarta, Gatra.com-Mahkamah Konstitusi (MK) mengingatkan kembali pentingnya alat bukti dokumen dalam perkara sengketa Pileg 2019. Hakim MK, Arief Hidayat menuturkan, alat bukti dokumen lebih penting dari keterangan saksi.
"Anda itu enggak usah bawa saksi boleh, tapi bukti tertulisnya asal kuat," katanya di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa, (23/7)
Hal itu disampaikan Arief, menanggapi permintaan Kuasa Hukum Partai Golkar akan penambahan saksi. Pada sidang gugatan pileg, MK membatasi tiga saksi untuk pihak pemohon dan termohon. Sementara pihak terkait dijatah satu saksi.
Arief meminta para pihak dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) memahami aturan hukum acara yang berlaku. Hukum acara PHPU berbeda dengan hukum acara pidana.
Dalam perkara pidana, keterangan saksi yang melihat dan mendengar suatu peristiwa berada di tingkatan paling atas. Hal itu termaktub dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam PHPU, kedudukan paling tinggi alat bukti adalah dokumen dan surat. Ini tertulis dalam Pasal 42 Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam PHPU legislatif.
Perbedaan hierarki ini, lanjut Arief, menjadi alasan MK membatasi jumlah saksi yang bisa dihadirkan para pihak. Bahkan dalam gugatan pemilihan presiden sekalipun.
"Pilpres yang wilayahnya seluruh Indonesia itu hanya 15 orang saksi. Posisi penting di dalam perkara PHPU adalah bukti tertulis. Lain,[apabila] biasa beracara pidana. Jangan dimain-mainkan ke sini," katanya.