London, Gatra.com - Tokoh sentral gerakan Brexit, Boris Johnson menjadi Perdana Menteri Inggris berikutnya setelah setelah memenangkan pemilihan Pimpinan Partai Konservatif pada Selasa (23/7).
Johnson (55) terpilih sebagai pemimpin partai dengan perolehan 92.153 suara dari anggota Partai Konservatif yang berkuasa. Sedangkan Menteri Luar Negeri Jeremy Hunt mendapatkan 46.656 suara. Johnson akan memulai pekerjaannya sebagai perdana menteri pada Rabu (24/7).
Sementara itu, Presiden Donald Trump secara terbuka mendukung Johnson. Melalui Twitternya, ia mengatakan " Dia akan menjadi pemimpin yang hebat!,"
Dilansir dari CNBC, Johnson yang sebelumnya adalah Menteri Luar Negeri dan Wali Kota London, kemungkinan akan membentuk kabinet baru. Beberapa menteri telah mengumumkan pengunduran diri mereka, termasuk Menteri Keuangan Philip Hammond. Sebagian besar karena sikap mereka yang berbeda atas Brexit. Selain Brexit, Johnson akan menghadapi krisis langsung dengan Iran, yang menyita kapal tanker minyak Inggris pada Jumat (19/7).
Di depan anggota Partai Konservatif, setelah pengumuman kemenangannya pada Selasa (22/7), Johnson mengatakan, dia akan mempersatukan Inggris.
" Kita akan bangkit dan menyingkirkan keraguan. Hilangkan sikap pesimis untuk menghasilkan pendidikan yang lebih baik, infrastruktur yang lebih memadai, lebih banyak polisi, broadband di setiap rumah. Kami akan menyatukan negara dan membawanya ke depan," katanya dilansir dari CNBC.
Ia berujar, tidak ada satu partai. Menurutnya, tidak ada partai yang memiliki monopoli kebijaksanaan.
Pemilihan di Partai Konservatif terjadi setelah Theresa May mengumumkan pengunduran dirinya sebagai perdana menteri. Setelah berulang kali ia gagal dalam Perjajian Brexit yang dilakukan dengan Uni Eropa pada tahun lalu.
Kebijakan Johnson akan menjadi fokus utama. Mengingat tenggat waktu yang akan datang untuk meninggalkan Uni Eropa yakni pada 31 Oktober. Menurutnya, masih belum ada kesepatakan dari Parlemen Inggris.
Seperti diketahui, Johnson menjadi terkenal karena ucapan spontannya dan telah lama menjadi anggota Partai Konservatif. Ini mempengaruhi keputusannya untuk mendukung pemungutan suara menjelang referendum Inggris tentang keanggotaan di Uni Eropa pada Juni 2016. Momen tersebut diprediksi berefek besar.
Sejak itu, Johnson membuat pernyataan yang lebih kontroversial mengenai Brexit. Bersikeras Inggris harus meninggalkan Uni Eropa pada 31 Oktober.
"Lakukan atau mati, apa pun yang terjadi," tegas Johnson.
Meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan, berarti tidak akan ada periode transisi bagi Inggris. Terutama untuk terbiasa dengan kehidupan di luar blok perdagangan Uni Eropa. Tautan perdagangan dan transportasi antara Eropa dan Inggris bisa sangat terpengaruh.
Menyusul pengumuman kemenangan Johnson, pemimpin oposisi Inggris, Jeremy Corbyn menyebut, Johnson hanya memenangkan dukungan kurang dari 100.000 anggota Partai Konservatif. Ia menjanjikan pemotongan pajak untuk yang orang kaya, menampilkan dirinya sebagai teman para bankir, dan merusak no-deal Brexit.