Jakarta, Gatra.com - Komisaris Independen PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Roy Edison Maningkas membeberkan alasannya mengundurkan diri dari jabatannya. Ia mengaku mendapat tanggapan negatif dari direksi dan Kementerian BUMN usai mengajukan perbedaan pendapat atau dissenting opinion mengenai proyek Blast Furnace Krakatau Steel.
Roy mengatakan bahwa nilai proyek pengolahan biji besi ini telah menelan biaya sekitar Rp10 triliun dari rencana awalnya Rp7 triliun. Proyek Blast Furnace juga terlambat dikerjakan hingga 72 bulan.
"Ini kesalahan, jadi kita udah hire orang banyak, tapi telat 72 bulan, digaji terus. Bukan single faktor, tapi salah satunya. Investasi kita jadi nggak ada pengembalian," ujar Roy di Kantor Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Jakarta, Selasa (23/7).
Ketua Komite Pengembangan Usaha dan Risiko ini juga mengungkap adanya potensi kerugian negara dalam proyek ini. Karena harga pokok produksi (HPP) slab yang dihasilkan lebih mahal US$82 per ton dibandingkan harga pasar.
"Kalau produksi proyek Blast Furnace produksi 1,1 juta ton per tahun, potensi kerugian Krakatau Steel (KS) akan mencapai Rp 1,3 triliun per tahun. Ini kan jelas merugikan negara," jelasnya.
Parahnya, lanjut Roy, setelah tertunda 72 bulan, proyek Blast Furnace hanya akan beroperasi haya dua bulan saja. Padahal jika berpedoman pada kontrak, uji coba proyek perlu dilakukan hingga 6 bulan.
Roy menjadi pihak penentang atas kebijakan ini. Ia justru heran direksi memberikan alasan yang menurutnya tidak masuk akal.
"Alasannya katanya takut kena BPK, kedua takut diklaim ratusan juta dollar oleh kontraktor proyek (MCC CERI) bila tidak dioperasikan, ketiga katanya cuma punya bahan baku 2 bulan. Bayangkan Rp10 triliun hanya untuk 2 bulan," sambung Roy.
Ia mengatakan saat ini Proyek Blast Furnace setengah hati dijalankan.
"Selama 4 tahun di KS, fasilitas proyek ini tambal sulam. Ini kayak proyek maju kena, mundur kena. Kalau diterusin kerugiannya Rp1,3 triliun, ga diterusin Rp10 triluin hilang," katanya.