Home Ekonomi Melibas Mafia & Kartel Pangan

Melibas Mafia & Kartel Pangan

Jakarta, GATRAreview.com - Pangan tak hanya lezat di lidah, tapi juga enak buat bisnis. Masalah timbul karena kadang-kadang yang menikmati keuntungan hanya segelintir orang dengan membentuk kartel. Ini menimbulkan persaingan tidak sehat. Dalam kondisi seperti ini, konsumen dirugikan karena para pedagang mengendalikan harga semaunya. Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Kodrat Wibowo menyatakan indikasi kartel di bidang pangan memang terasa. "Berdasarkan kasus yang kita gelar, baik itu fakta penyelidikan maupun fakta persidangan memang ditengarai ada semacam kartel," katanya. Karena pemainnya relatif sedikit, tingkat persaingan sangat lemah. Mereka menjadi leluasa membuat kesepakatan, misalnya dalam penentuan jumlah kuota impor, kualitas barang, bahkan menentukan pasar. "Kami menganggap bahwa kartel pangan ini ada," katanya.

Kodrat Wibowo menyatakan banyak peraturan yang perlu diperbaiki. KPPU mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk menjaga persaingan sehat. "Minimal membuka atau memberikan izin lebih banyak kepada para pelaku, artinya jangan itu-itu saja," ujar pria yang meraih gelar doktor bidang ekonomi di Oklahoma University. Dalam kasus bisnis daging, misalnya, ternyata importir sapi memang itu-itu saja. Tapi kini pemerintah membuka keran dari daging kerbau India sehingga masyarakat memiliki pilihan. "Kita sudah selesaikan kasus sapi. Para pelaku juga dipastikan tidak menahan pasokan karena memang secara perizinan agak sulit," ujarnya.

Dalam perdagangan apapun termasuk daging, harga bisa saja naik. "Tapi seharusnya harga naik karena mekanisme pasar bukan karena persekongkolan," kata Kodrat kepada wartawan Gatra Review, Erlina Furi Santika.

Sejauh ini laporan yang masuk memang banyak terkait dengan bisnis pangan seperti daging, telur, ayam, dan sembako. Kondisi ini perlu diregulasi oleh kementerian terkait. Prinsipnya jangan ada monopoli, terapkan persaingan yang sehat. "Persaingan tidak sehat ditandai oleh kondisi di mana pemain besar mematikan perusahaan kecil," katanya.

Kartel Garam & Gula

 

Sampai saat ini KPPU masih mengawasi dugaan kartel di sektor pangan. Kasus yang sedang ditangani saat ini adalah dugaan kartel garam. Sebanyak tujuh perusahaan garam sudah menjalani sidang pertama dugaan kartel di kantor KPPU, Desember 2018. Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Dinni Melanie didampingi Investigator Utama Noor Rofieq. Ketujuh Perusahaan itu adalah PT Garindo Sejahtera Abadi (GSA), PT Susanti Megah (SM), PT Niaga Garam Cemerlang (NGC), PT Unicem Candi Indonesia (UCI), PT Cheetam Garam Indonesia (CGI), PT Budiono Madura Bangun Persada (BMBP), dan PT Sumatraco Langgeng Makmur (SLM).

 

Kasus ini bermula dari kenaikan harga garam yang tidak wajar. Semula harga garam Rp 1.200/kg, lalu meloncat menjadi Rp 2.800/kg. Sampai tulisan ini dibuat, KPPU masih mendengar saksi-saksi. Tak hanya garam, gula juga menjadi bahan mainan jaringan kartel. Maklum saja, menurut Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad, Indonesia adalah negara pengimpor gula terbesar di dunia. Apalagi pasokan gula lokal amat minim. “Masyarakat Indonesia itu biasanya menanam tebu di ladang yang sebelumnya digunakan untuk menanam beras. Sebenarnya, menanam tebu itu lebih mudah dari pada padi. Tapi kalau dilihat dari segi produktivitasnya, beras lebih menjanjikan. Karena beras bisa dipanen tiap tiga bulan sekali, sedangkan tebu tidak,” kata Tauhid.

 

 

Padahal konsumsi gula masyarakat Indonesia begitu besar baik untuk konsumsi rumah tangga, untuk pabrik atau industri. Menurut Tauhid, banyaknya konsumsi gula dan minimnya pasokan gula lokal, membuat banyak perusahaan gula nakal dari luar negeri yang bermain di pasar Indonesia. Kebanyakan dari mereka, menjual gula mentah – yang biasanya digunakan untuk membuat suatu produk oleh produsen makanan, minuman, dan lainnya – dengan harga mahal, yang mana seharusnya gula jenis itu dijual dengan harga murah.

 

 

“Harga gula mentah itu murah. Taruhlah Rp 8.000/kg nanti sama mereka ini dijual dengan harga Rp 13.000/kg. Coba hitung berapa untungnya, kalau mereka jual ratusan ton ke Indonesia. Apa lagi jualnya ke pasar, ke orang-orang biasa yang tidak bisa membedakan bentuk gula mentah dengan gula biasa,” kata Tauhid kepada wartawan Gatra Review Qanita Azzahra.

 

 

Kasus-kasus Berat

 

Beberapa kasus persaingan tidak sehat telah divonis KPPU. Salah satu kasus yang cukup ramai dibicarakan publik adalah dugaan kartel harga daging sapi impor yang dilakukan 32 perusahaan feedloter, perusahaan penggemukan sapi. KPPU telah memvonis perusahaan tersebut karena terbukti melakukan kartel perdagangan sapi untuk memasok kebutuhan daging sapi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, pada periode 2013-2015.

 

 

Pada Putusan KPPU Nomor 10/KPPU-I/2015 yang dibacakan pada 22 April 2016, Komisi menyatakan bahwa terlapor 1 sampai dengan 32 terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 11 dan Pasal 19 huruf c UU Nomor 5 Tahun 1999. Masing-masing terlapor dijatuhi denda bervariatif, dari Rp1 miliar hingga Rp 21 miliar dengan nilai total Rp 106 miliar.

 

 

Perkara ini mendapat perlawanan hukum dari 19 pengusaha hingga ke tingkat Mahkamah Agung. Pada level hukum tertinggi ini, KPPU menang. Putusan Mahkamah Agung Nomor 715 K/Pdt.Sus-KPPU/2018, MA menyatakan menolak permohonan kasasi yang diajukan PT Fortuna Megah Perkasa dan 18 perusahaan feedloter lainnya. Putusan itu dibacakan pada 17 September dan diunggah ke lama kepaniteraan MA pada 6 Desember 2018. Putusan dibacakan Ketua Majelis Hakim Agung Hamdi, didampingi hakim anggota Panji Widagdo dan Ibrahim.

 

 

Tapi dalam kasus lain, giliran KPPU kalah di tingkat MA. Kasus tersebut terkait dugaan kartel oleh 12 perusahaan dengan menandatangani perjanjian pengafkiran parent stock. Perkara tersebut berawal dari tidak seimbangnya ketersediaan dan permintaan ayam pedaging alias broiler. Kementerian Pertanian (Kementan) merilis surat edaran agar perusahaan peternakan ayam broiler memangkas pasokan. Setelah memproses kasus ini, KPPU memutuskan 12 perusahaan dinyatakan bersalah. Keputusan yang dibacakan 13 Oktober 2016 tersebut menyatakan perusahaan tersebut melanggar pasal 11, UU 5/1999 yang berbunyi: pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

 

 

Perusahaan yang divonis melanggar tersebut adalah PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN), PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA), PT Malindo Feedmill Tbk (MAIN), PT CJ-PIA, PT Taat Indah Bersinar, PT Cibadak Indah Sari Farm, PT Hybro Indonesia, PT Expravet Nasuba, PT Wonokoyo Jaya Corporindo, CV Missouri, PT Reza Perkasa, dan PT Satwa Borneo Jaya. Dalam kasus itu KPPU menghukum mereka agar membayar ganti rugi Rp 118,43 miliar.

 

 

Setelah diputuskan bersalah, 12 perusahaan tersebut mengajukan banding ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Pada 29 November 2017, Pengadilan Negeri Jakarta Barat mengabulkan permohonan, dan membatalkan putusan KPPU. Atas putusan tersebut, KPPU melawan dengan mengajukan kasasi yang pada akhirnya kalah di tingkat MA.

 

 

Libas Mafia

 

Pemerintah bertekad tidak boleh kalah melawan pengusaha nakal. Menteri Pertanian, Amran Sulaiman menyatakan pelaku mafia sudah banyak yang diproses hukum. Ia menjabarkan, 782 orang telah diproses hukum, 400 orang diantaranya dipenjara. "Bukan hanya mafia beras, ada mafia bibit, mafia pupuk, dan mafia pestisida. Tidak ada ampun lagi bagi mafia pangan yang menyengsarakan petani. Pokoknya gini, ada mafia yang main-main….Aku libas," katanya tegas. Bahkan jika ada pegawai Kementan yang terlibat mafia, Amran langsung pecat. "Sejak aku menjadi menteri, sudah banyak yang aku pecat dan demosi, jumlahnya ada 1.429 orang," katanya.

 

 

Tidak Semua Pengusaha

 

Menanggapi soal kartel, Ketua Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (ASPIDI), Juard Effendi menyatakan keberatan jika para importir sering dituding membentuk kartel. "Aduh, sedih saya. Padahal kita cukup banyak membantu, mana pas Lebaran kemarin turun untuk operasi pasar membantu pemerintah menstabilkan harga," katanya.

 

 

Ia menjelaskan, proses impor tidak sembarangan. Untuk mendatangkan daging impor, mekanismenya melibatkan banyak pihak. Pertama, pengusaha perlu mendapat rekomendasi dari dinas peternakan setempat. Setelah itu pengusaha memohon rekomendasi impor dari Kementan. Setelah Kementan menerbitkan jumlah impor yang direkomendasikan, pengusaha kemudian melanjutkan Kementerian Perdagangan. Sesudah itu, pengusaha memesan daging ke luar negeri.

 

 

Untuk proses impor itu setidaknya butuh satu bulan. Rinciannya, Rekomendasi dinas setempat sekitar seminggu. Proses di Kementerian Pertanian berkisar 3-7 hari. Di Kementerian Perdagangan sekitar dua minggu.

 

 

Padahal, menurut Juard, bisnis impor daging tidak selalu menguntungkan. "Importir daging itu malah sering rugi. Misalnya kalau pasar lagi banjir daging, mereka harus jual rugi. Supaya ada perputaran," kata Juard sembari menolak tuduhan impor daging sebagai bisnis yang mudah. Ia menjelaskan, kebanyakan importir pakai uang kredit dari bank, sehingga harus ada perputaran agar bisa mengembalikan pinjaman. "Semua bisnis punya resiko rugi. Banyak orang salah mengerti, disangkanya bisnis pangan itu selalu menggiurkan," ujarnya.

 

 

Siapa yang suruh impor?

 

Menurut Tauhid, kasus harga bawang putih yang terjadi beberapa waktu lalu dapat diambil pelajaran. Seperti yang telah diketahui, harga bawang putih beberapa saat lalu sempat meroket. Tauhid mengkritik tindakan pemerintah karena lambat dan tidak siap mengantisipasi harga komoditas tersebut.

 

 

Tidak hanya itu, tingginya harga bawang putih juga sudah dapat dipastikan karena adanya campur tangan dari para mafia pangan. “Pasti itu kalau bawang putih, pasti ada pihak-pihak belakang yang ikutan masuk. Jadi ini kesalahan pemerintah juga, karena tidak bisa memprediksi harga bawang putih yang bakal naik. Harusnya pemerintah sudah punya datanya, kapan stok bawang putih banyak, kapan kosong,”

 

 

Sebab itu, sebelum melakukan impor, sebaiknya pemerintah, yang diwakili oleh Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan Bulog melakukan koordinasi dengan para petani dan perwakilan Bulog di tiap daerah untuk mengecek ketersediaan pangan di sana.

 

 

Saat koordinasi sudah dilakukan, menurut Tauhid, melambungnya harga suatu komoditas yang melebihi batas tidak akan terjadi lagi. Sehingga nantinya tidak ada ruang untuk para mafia pangan masuk ke pasar impor Indonesia.

 

 

Meski begitu, kehadiran mafia pangan tidak melulu ada dalam impor Indonesia. Penyebabnya, adalah sedikitnya produsen suatu komoditas yang dapat menyediakan pasokan untuk Indonesia. Tauhid menyebutkan salah satu contohnya adalah gandum.

 

“Tidak banyak negara yang memproduksi gandum. Salah satu kebutuhan impor terbesar Indonesia adalah gandum, karena kebutuhannya banyak dan produsen atau pengimponya sedikit. Jadi tidak heran, kalau impor gandum di Indonesia hanya dilakukan oleh beberapa perusahaan saja,” ujar Tauhid.

 

Redaktur : Rihad Wiranto

2493