Home Ekonomi Badan Pusat Statistik: Luas Lahan Baku Sawah Terus Menurun

Badan Pusat Statistik: Luas Lahan Baku Sawah Terus Menurun

Jakarta, GATRAreview.com - Karawang termasuk salah satu wilayah penghasil padi terbesar di Jawa Barat, namun akhir- akhir ini beberapa petani mengeluh lantaran gagal panen. Menurut Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), Desa Ciranggon, Karawang, Asep Saefudin, sawahnya pada tahun ini gagal panen karena kekurangan pasokan air. “Produksi pertanian saya sudah gagal. Kalau sawah 2 hektar, waktu panen cuma dapat 2 ton padi, kan gagal karena biasanya dapat 5-6 ton. Biaya yang sudah keluar juga banyak Kami butuh irigasi diperbaiki,” katanya. 

Petani Desa Tegal Sawah, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang, Osim, 47 tahun, juga mengaku gagal panen. Tapi yang menjadi biang keladi bukan irigasi melainkan program percepatan tanam yang dilakukan pemerintah. Pada program tersebut lahan pertanian bisa dipanen tiga kali yang selama ini hanya dua kali panen setahun. “Program ini tidak dibarengi pemulihan tanah dengan pupuk organik untuk menjaga kesuburan tanah. Sebaliknya pemerintah menggunakan pupuk kimia yang dampaknya lahan rusak, tanam tidak serempak, akibat yang paling besar siklus hama tidak terputus. Baik itu wereng, lembing, tikus dan lainnya karena mereka bisa pindah dari tempat panen satu ke tempat panen lainnya,” kata Osim

Ia mengatakan jika mengikuti ajakan pemerontah untuk tiga kali panen, hasil terbaiknya adalah 3 ton sekali panen, jadi total 9 ton padi. Namun jika dua kali panen, hasilnya lebih besar bisa 6 ton sekali panen, jadi keseluruhan mencapai 12 ton.

Hal senada diamini oleh Asep, karena imbauan pemerintah untuk menggerakan percepatan panen 3 kali setahun dinilainya tidak berhasil di Karawang. Akibat gagal panen, kelompok taninya tidak mau mengikuti himbauan tersebut.

Pengamat pertanian, Khudori, mengingatkan penggunaan pupuk kimia yang dilakukan pemerintah akan menurunkan tingkat kesuburan lahan pertanian. Saat ini 68% lahan pertanian menggunakan pupuk kimia, sedangkan 23% menggunakan pupuk kimia dan organik. Menurut Khudori subsidi negara terhadap pupuk kimia sangat besar membuat kualitas lahan pertanian menurun dan akan mempengaruhi hasil pertanian. Ia mengharapkan agar lahan persawahan menggunakan pupuk organik.

Apalagi Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut luas lahan baku sawah terus menurun. Data pada 2018 menunjukan luas lahan tinggal 7,1 juta hektare, turun dibanding 2017 yang masih 7,75 juta hektare. Angka luas lahan tersebut diperoleh dengan metodologi Kerangka Sampel Area (KSA) menggunakan data hasil citra satelit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Badan Informasi Geospasial (BIG). Kepala BPS Suhariyanto mengatakan penurunan luas lahan tersebut dipicu oleh gencarnya alih fungsi. Suhariyanto berharap pemerintah perlu segera mengatasi alih fungsi lahan tersebut.

Indeks Kelaparan Masih Serius

Survei yang dirilis Global Hunger Index (GHI) 2018 menempatkan Indonesia pada peringkat ke 73 dari 119 negara yang diriset di dunia. Meskipun mengalami perbaikan dari tahun sebelumnya, namun posisi ini menempatkan Indonesia di bawah Malaysia (57), Vietnam (64) dan Filipina (69). Ranking ini lebih bagus dari Kamboja (78) dan Bangladesh (86). Status ini menandakan GHI Indonesia menjadi masalah serius yang harus mendapat perhatian pemerintah, apalagi jumlah stunting, anak kurus dan kurang gizi masih tergolong tinggi.

Menanggapi persoalan tersebut, Kepala Sub-Direktorat Kewaspadaan Gizi Kementerian Kesehatan (Kemenkes), R. Giri Wurjandaru, SKM, M.Kes mengatakan masalah stunting bukan sekadar food security, tetapi intuition food security. “Artinya, anak-anak tidak makan karena rasa kenyang saja, namun zat-zat gizinya terpenuhi untuk pertumbuhan otak dan paru-paru.” ujarnya pada Ryan dari GATRA.

Saat ini, masalah stunting dipengaruhi oleh budaya mengonsumsi makanan yang mulai berubah. Giri menjelaskan, semakin banyak orang tua bersikap masa bodoh terhadap asupan makanan di rumah Bahkan, dengan adanya aplikasi pemesanan makanan secara online justru memperparah kondisi orang tua di rumah yang ingin semuanya serba instan, tanpa memikirkan gizi dari makanan tersebut.

Sejauh ini, dalam upaya mencegah stunting, Kemenkes mulai dari merubah perilaku masyarakat untuk tertib dalam mengonsumsi makanan. Giri menyampaikan, Kemenkes sudah sepakat, bahwa perubahan perilaku itu sifatnya individual atau interpersonal community (IPC). Kemenkes sudah memiliki program keluarga sehat Indonesia (Bispeka), yang mana tadinya puskesmas itu menunggu, sekarang harus keliling menilai setiap rumah tangga itu sehat atau tidak.

Konsumsi pangan masyarakat Indonesia masih belum mencerminkan pola makan gisi seimbang. Sebagian besar penduduk Indonesia (97%) mengkonsumsi sumber karbohidrat dari beras. Konsumsi beras masyarakat Indonesia rata-rata sebesar 114,6 kg per orang per tahun atau sekitar 314 gram per orang / tahun. Tingginya konsumsi beras dan bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan semakin meningkatnya penyediaan beras. Padahal banyak komoditas di Indonesia yang bisa menggantikan fungsi beras,

Terkait dengan gisi buruk, tak lepas dari asupan makanan sehari-hari. Pertumbuhan ketersediaan pangan di Indonesia setara kalori dan protein sepanjang 6 tahun (2011-2016) cukup lambat: hanya 0,06%. Meski demikian, ketersediaan pangan setara kalori dan protein cukup tinggi: 4.017 kilokalori/hari dan 83,07 gr/hari pada 2016. Ketersediaan ini melebihi angka kecukupan gizi: 2.400 kkal/hari dan 63 gram protein/hari. 


Dudun Parwanto

2270