Washington, Gatra.com - Pemerintah Amerika Serikat (AS) sedang memperkenalkan proses deportasi yang lebih cepat. Proses ini akan menghilangkan jalur pengadilan imigrasi.
Di bawah aturan baru itu, setiap imigran tidak berdokumen yang tidak dapat membuktikan mereka telah berada di AS terus menerus selama lebih dari dua tahun dapat segera dideportasi.
Dikutip dari BBC, Selasa (23/7), kebijakan ini diharapkan akan diterbitkan pada hari Selasa waktu setempat, dan kemudian diimplementasikan di seluruh negeri dengan efek langsung.
Namun hal tersebut ditentang, salah satunya oleh kelompok Serikat Kebebasan Sipil AS (American Civil Liberties Union/ACLU). Kelompok itu berencana untuk menentang kebijakan tersebut di pengadilan.
Itu terjadi ketika kebijakan imigrasi AS berada di bawah pengawasan ketat khususnya kondisi di pusat-pusat penahanan negara di perbatasan selatan dengan Meksiko.
Kevin McAleenan, pejabat sekretaris Homeland Security mengatakan, perubahan kebijakan akan membantu meringankan beberapa masalah beban dan kapasitas di perbatasan. Para analis mengatakan, Presiden AS Donald Trump berencana untuk membuat kontrol imigrasi garis keras dari kampanye pemilihan ulang pada tahun 2020.
Sebelumnya, hanya orang yang ditahan dalam jarak 160 km dari perbatasan yang telah berada di AS selama kurang dari dua minggu yang dapat dideportasi dengan cepat.
Para imigran yang ditemukan di tempat lain, atau yang telah berada di negara itu selama lebih dari dua minggu, perlu diproses melalui pengadilan dan akan berhak atas perwakilan hukum.
Tetapi aturan baru menyatakan bahwa orang dapat dideportasi di mana pun di negara mereka berada ketika mereka ditahan, dan tidak mungkin memiliki akses ke pengacara.
Departemen Keamanan Dalam Negeri mengatakan aturan baru akan memungkinkannya untuk mengejar sejumlah besar migran ilegal dengan lebih efisien. Serikat Kebebasan Sipil AS mengumumkan di media sosial bahwa mereka meluncurkan tantangan hukum terhadap kebijakan tersebut.
"Kami menuntut untuk segera menghentikan upaya Trump yang secara besar-besaran memperluas deportasi imigran yang dipercepat," ujar kelompok tersebut.
Vanita Gupta, presiden Konferensi Kepemimpinan tentang Hak Sipil dan Hak Asasi Manusia, mengatakan kepada wartawan, pemerintahan Trump mengubah ICE (Imigrasi dan Penegakan Bea Cukai) menjadi tentara deportasi.
Pakar hukum Jackie Stevens, seorang profesor ilmu politik di Universitas Northwestern, mengatakan kepada Reuters bahwa sekitar 1% dari orang-orang yang ditahan oleh ICE dan 0,5% dari mereka yang dideportasi, sebenarnya adalah warga negara AS.