Jakarta, Gatra.com - Situasi global tengah disibukkan dengan perang dagang Amerika Serikat-Cina. Raksasa ekonomi dunia itu kini tengah berebut pengaruh untuk menjadi yang terdepan di sektor ekonomi, politik dan budaya. Pengamat Pangan dan Infrastruktur, Wibisono mengatakan meski perekonomian dunia masih bergejolak, perang dagang AS-Cina disinyalir tidak akan memberikan dampak buruk terhadap ekonomi Indonesia.
“Jika dilihat secara perspektif, perang dagang tidak seutuhnya berdampak buruk. Dipercaya ada imbas positif dari memanasnya hubungan dagang AS dan Cina bagi Indonesia, dampaknya mungkin hanya pada pelemahan nilai rupiah terhadap dollar saja,” ujar Wibisono dalam keterangannya kepada Gatra.com, Senin (22/7).
Ia mengatakan layaknya perang, pasti akan ada pihak yang menang dan mengalah. Bila melihat ketegangan perdagangan global, Wibisono menyebutkan ada potensi aliran bisnis baru akan mengalir ke Asia Tenggara. Potensi tersebut bila dimanfaatkan akan mendiversifikasi rantai pasokan bisnis ke Indonesia dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi baru.
“Banyak bisnis yang diharapkan mendiversifikasikan rantai pasokan ke Asia Tenggara. Ini akan memberikan dampak bagi para pemasok lokal untuk mendapatkan manfaat dari pergeseran pesanan ke kawasan tersebut. Dalam hal ini, Indonesia juga berada pada posisi yang baik untuk menangkap peluang,” katanya.
Dirinya berkeyakinan dalam skenario perang dagang antar dua negara tersebut, Indonesia akan berada dalam posisi dan daya tawar yang kuat. “Saya melihat di dua skenario ini, Indonesia tetap menang. Kalau ekonomi akan terus berkembang, Indonesia untung. Kalau AS dan Cina tetap berperang, Indonesia juga tidak perlu menaikkan suku bunga,” ungkap pria yang juga pembina Lembaga Kinerja Aparatur Negara (LPKAN) Indonesia itu.
Bagaimanapun situasi yang terjadi, terang Wibisono, pemerintah bersama investor dan pelaku bisnis harus tetap optimis dan mampu mengubah tantangan global menjadi sentimen positif untuk membangkitkan sektor usaha di tanah air. Meski dikhawatirkan situasi tersebut akan memicu risiko inflasi dan gejolak kurs, dirinya berpandangan situasi saat ini masih bisa teratasi bila dibandingkan dengan situasi krisis yang pernah dihadapi Indonesia sebelumnya.
Ia mengatakan dalam kurun tiga tahun terakhir, Indonesia menghadapi beragam tantangan mulai dari suku bunga AS yang naik, dominasi dolar terhadap rupiah, harga minyak yang melambung, inflasi, serta penurunan harga batubara. Di tahun ini, iklim investasi juga merasakan dampak dari menguatnya suhu politik di tanah air pasca kompetisi pilpres 2019.
“Itu semua datang dari sentimen. Saya yakin investor itu bukan robot atau komputer, tetapi manusia yang sedang wait and see, akibat adanya tahun politik di dua tahun ini (pilkada dan pilpres) yang menimbulkan ketidak pastian iklim investasi. Pilpres tentu sangat menyita perhatian publik dan investor mereka menunggu kepastian politik siapa Presiden yang terpilih", ucap Wibisono.
Tantangan terbesar yang akan dihadapi Indonesia justru pada kemungkinan inflasi. Kemungkinan itu dapat diatasi dengan adanya kebijakan yang baik dari pemerintah. “Dalam Perang Dagang AS-Cina ini, kalau kita lihat ke Indonesia secara langsung tidak akan berdampak besar. Dari sisi ekspor, Indonesia hanya mengekspor batubara ke Cina. Saya melihat imbas terbesarnya justru ke inflasi,” tambahnya.
Untuk mengantisipasi itu, ia berharap pemerintah yang baru bisa mempertahankan stabilitas ekonomi. Pemerintah terang Wibisono diharapkan menyiapkan strategi khusus untuk meredam kenaikan harga-harga bahan pokok, agar dampaknya tidak begitu terasa di masyarakat. “Kalau inflasi stabil, akan ada kemungkinan untuk bisa menurunkan suku bunga, misal 25 bps. Agar perekonomian Indonesia, terutama di beberapa sektor tertentu, bisa lari lagi,” ujarnya.