Pekanbaru, Gatra.com - Masih lekat dalam benak bekas Kepala Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi, Syaharudin kejadian empat tahun silam.
Saat orang kehutanan menyuruh lelaki 35 tahun itu meneken Berita Acara Tata Batas temu gelang Areal Peruntukan Lain (APL) Desanya di Kantor Bupati Tebo.
Ayah dua anak ini ngotot tak mau meneken lantaran masih banyak hak masyarakat desa yang tak masuk ke dalam APL yang dibikin tadi.
"Apa tidak bisa lagi digeser ini, Pak? Soalnya tanah-tanah masyarakat saya masih banyak ini yang tidak masuk," dia bertanya.
"Ooo enggak bisa lagi. Itu saja," kata seorang pegawai kehutanan yang dia tanya. Di kertas BATB itu tertulis APL Desa Pemayungan 2.377,80 hektar.
"Kalau memang sudah tidak bisa lagi, mohon maaf, saya tidak bisa meneken ini," kata Syaharudin datar dan bergegas keluar dari ruang pertemuan itu.
Di Riau, persis di Indragiri Hulu (Inhu), suatu hari sekitar pukul 14:00 Wib, Batin Alim Desa Alim Kecamatan Batang Cenaku, Hendri Alfian, yang saat itu masih menjabat Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) datang menghadap Kepala Dinas Kehutanan Inhu, Tripjap Praja. Hendri ditemani Kepala Desa Alim, Zulkarnain.
"Pak, kawasan itu dimana sebenarnya? Kalau memang kawasan itu ada, batasnya dimana, biar nanti batas-batas itu kami kasi tahu kepada masyarakat kami. Biar mereka tahu. Jangan nanti setelah terjamah, kita saling menyalahkan," Hendri Alfian bertanya. Tripjab Praja memandangi Hendri.
Dipandangi begitu, Hendri mempertegas lagi, "Ada baiknya kita ukur saja kawasan itu, Pak. Biar nanti tidak ada salah menyalahkan,"
"Urusan mengukur biayanya tak sedikit, Pak Hendri," hanya itu jawaban Tripjab Praja saat itu.
Tahun 2013, saat kemelut perbatasan Riau-Jambi terjadi. Batin-batin dikumpulkan untuk menentukan tapal batas antara Riau dan Jambi di Kilometer 34,5. Semua pejabat pemerintahan Inhu dan unsur pimpinan daerah, hadir.
Memakai kaca mata hitam, Bupati Inhu Yopi Arianto naik ke atas tugu tapal batas Riau-Jambi dan berpidato yang intinya,"Bapak-bapak, berladanglah yang baik, tanami yang bagus. Bapak-bapak sehatkan?"
Saat itu Yopie tidak sedikitpun menyinggung soal kawasan hutan apalagi status lahan Desa Alim apakah kawasan hutan atau tidak.
Masyarakat yang hadir justru disuruh berladang dan bertanam yang bagus. Suruhan itu kemudian membikin masyarakat semangat. Tidak terbersit sedikitpun oleh mereka bahwa kelak ladang peninggalan leluhur Alim bakal dirundung masalah.
Apa yang dirasakan oleh Syaharudin dan Hendri hanya secuil dari gambaran betapa runyamnya penataan kawasan hutan di Indonesia. Otoritas kehutanan gagal menata hutan untuk bisa berdampingan dengan masyarakat yang nota bene punya hak konstitusional.
"Negara tidak pernah memikirkan living law (hukum yang hidup) yang ada di masyarakat. Padahal living law itu lebih tinggi dari hukum Negara," kata Pakar Hukum Kehutanan, DR. Sadino, SH, MH saat berbincang dengan Gatra.com Minggu (21/7).
Kalau saja living law itu menjadi perhatian kata Direktur Eksekutif Biro Konsultasi Hukum & Kebijakan Kehutanan ini, dari awal otoritas kehutanan sudah menetapkan kawasan hutan. "Pas masyarakat membuka hutan dibiarkan, tanaman sudah menghasilkan, direcoki," sindirnya.
Penetapan ini sesuai dengan pasal 15 Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang menyebut bahwa penetapan kawasan hutan dilakukan melalui empat tahapan; penunjukan, pemetaan, penataan batas dan penetapan.
"Otoritas kehutanan tidak pernah melakukan penetapan terhadap kawasan hutan, yang ada hanya klaim kawasan hutan. Dari 2012-2014, dari sekitar 140 juta hektar kawasan hutan yang ditunjuk, baru sekitar 15-16 persen yang ditata batas. Belakangan, ada kemajuan, tapi saya meragu, sebab menurut saya kemajuan itu masih kemajuan mengklaim kawasan hutan," katanya.
Sadino kemudian mencontohkan di Riau, bahwa hingga saat ini belum ada yang namanya penetapan kawasan. "Yang ada hanya merubah judul peta biar seolah-olah itu sudah ditetapkan. Kasus semacam ini juga terjadi di Kalimantan," ujar Sadino.
Di sisi lain, mayoritas orang kecil, petani, tidak mengerti apa itu kawasan hutan. Dan masyarakat enggak bisa dipersalahkan lantaran mereka punya hak azazi untuk hidup dan punya living law dalam unity nya.
Semestinya kata Sadino, hak konstitusional masyarakat wajib dihormati. Itulah makanya apabila otoritas kehutanan melakukan tata batas pada satu hamparan, hak masyarakat harus dienclave tanpa syarat.
Sadino kemudian mencontohkan penunjukan satu lahan menjadi lapangan bola. "Kalau ada hak orang di tengah lapangan bola itu, harus diselesaikan. Enggak bisa seenaknya lapangan bola itu langsung dipakai sementara ada hak orang di sana," katanya.
Ada juga contoh lain yang sudah benar yang dilakukan oleh otoritas kehutanan kepada masyarakat yang disodorkan oleh Sadino.
Misalnya 25 ribu kepala keluarga yang ada di kawasan Gunung Pangrango dan Gunung Salak di Jawa Barat. "Mereka tetap berada di sana meski di dalam kawasan hutan. Hak konstitusional mereka dihargai, masyarakat di sana bebas beraktivitas tanpa harus dikungkung untuk tidak bisa berbuat apa-apa. Inilah yang benarnya," ujar Sadino.
Jadi, menurut Sadino, apabila ada masyarakat yang masih berada di kawasan hutan yang ditunjuk, maka hak masyarakat itu harus dihargai.
"Tak ada pelanggaran hukum yang dilakukan masyarakat di sana, yang ada cuma pelanggaran administrasi. Mereka tidak punya surat-surat. Nah di sini sebenarnya negara harus hadir, negara wajib hadir memberikan pelayanan terkait administrasi itu. Ingat, hukum kita tidak pernah mengangkangi hak masyarakat," tegasnya.
Jika kemudian di lapangan ada oknum yang ngotot dengan embel-embel kawasan tadi, sebaiknya kata Sadino, masyarakat melakukan class action, menggugat negara atas kengototan tadi. "Gugatan ini harus dikawal terus biar tidak masuk angin," pintanya.
Lalu kepada para penegak hukum Sadino berpesan untuk objektif menengok persoalan kawasan hutan ini. "Penetapan kawasan hutan tidak boleh hanya mengejar formalitas, tapi ada sederet tahapan yang benar yang mesti dilewati tanpa harus menggerus hak konstitusional masyarakat," katanya.
Dan dari sederet penjelasannya tadi, Sadino kemudian berpesan kepada Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo) untuk tidak memilih opsi amnestiysoal kawasan hutan.
"Tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat, jadi enggak perlu memohon pengampunan. Permohonan pengampunan itu baru boleh diajukan ketika terjadi pelanggaran hukum. Yang lebih baik itu justru lakukan class action terhadap kebijakan oknum-oknum yang mengatasnamakan negara," pintanya.
Abdul Aziz