Banyumas, Gatra.com – Namanya Isrodin. Pendidikannya, S1 Manajemen Pendidikan. Ia lulusan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto, yang belakangan menjadi Institus Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto.
Sebenarnya, mudah saja bagi Isrodin untuk mengajar di sekolah-sekolah lain yang lebih menjanjikan secara finansial. Tetapi, ia lebih memilih mengajar di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Pakis, yang didirikan oleh lembaga di mana ia berkegiatan, 2013 lalu.
Baca juga: MTs Pakis Banyumas, Sekolah Alam Berbayar Hasil Bumi
Sekolah ini didirikan untuk memberi kesempatan kepada anak-anak pinggir hutan lereng Gunung Slamet dan sekitarnya untuk memperoleh pendidikan. Sekolah ini tanpa bayaran alias gratis.
Sejak itu pula, ia didapuk menjadi kepala sekolah alias penanggung jawab di sekolah yang berdiri di Dusun Pesawahan, Gunung Lurah, Cilongok, Banyumas. Isrodin mengaku tak mencari penghidupan dengan mengajar di MTs Pakis.
Baca juga: MTs Pakis, Sekolah Alam bagi Anak Pinggir Hutan di Banyumas
Bagi dia, MTs Pakis adalah kancah pengabdiannya. Makanya, Isrodin memiliki profesi lain, petambak ikan. Ia juga bertani di tanahnya yang tak sebegitu luas. Pihak sekolah tak pernah menarik iuran dari orang tua siswa. Beban itu terlampau berat untuk ditanggung. Terpenting, anak-anak bisa bersekolah.
“Saya tidak mendapat bayaran uang dari sekolah,” katanya, kepada Gatra.com, beberapa waktu lalu.
Meski tak pernah menarik iuran, terkadang ada saja orang tua siswa yang mengirim hasil bumi untuk guru. Mungkin, itu adalah cara orang tua siswa untuk berterima kasih kepada guru yang telah membimbing anak-anak mereka.
“Sering. Dapat kiriman kelapa, pisang, kadang-kadang ketela,” katanya.
Sejak mengabdi ketika MTs Pakis berdiri, Isrodin juga tanpa status. Ia bukan guru honorer daerah apalagi guru yang memperoleh sertifikasi. Praktis ia mesti bertahan dalam kondisi serba kekurangan.
Padahal, kebutuhan keluarga Isrodin semakin besar seiring bertambahnya umur dua anaknya. Neisya Ramadhan Aufa Rinjani (10) yang bersekolah di MI Kalisari sudah kelas 4. Anak keduanya, Ibaneza Zhafran Ona Chandrika (5) masuk TK.
Sementara, istrinya, Zuhrotul Latifah hanya bekerja sebagai guru wiyata bakti MI Maarif Kalisari. Honor istrinya, juga ala kadarnya. Bisa dibayangkan, betapa sederhana kehidupan keluarga Isrodin.
Di tengah padatnya jadwal kegiatan mengajar di MTs Pakis, Isrodin juga menjadi pengajar di sekolah Kader Brilian, sebuah sekolah persamaan setingkat SLTA di Desa Singasari, Kecamatan Karanglewas, Banyumas. Sama dengan MTs Pakis, di sekolah ini, Isrodin juga tak dibayar.
“Ya terus terang memang serba terbatas. Anak-anak itu berasal dari berbagai daerah dengan latar belakang keluarga tidak mampu,” kata dia.
Dengan kondisi yang serba terbatas itu, tak mungkin pula bagi Isrodin untuk menarik biaya bulanan tambahan kepada anak-anak miskin ini. Sebab itu, ia pun memutar otak. Ia bertani, memelihara ikan, dan bekerja apa saja untuk menutup defisit keuangan keluarga.
“Semuanya gratis. Karena tujuan kami memang memberi kesempatan kepada anak-anak yang berasal dari keluarga miskin,” ujarnya
Bahkan, jabatannya yang mentereng sebagai kepala sekolah pun tak dipakainya. Ia lebih memilih disebut sebagai penanggung jawab sekolah. Tugasnya macam-macam. Mulai dari administrasi, manajemen, hingga mengajar. “Sama. Status saya juga relawan,” ujarnya.
Lazimnya, sekolah didirikan untuk menampung sebanyak-banyaknya siswa. Sebaliknya, MTs Pakis yang merupakan sekolah berbasis pertanian ini justru bertekad menyisir anak-anak pinggir hutan yang tak memiliki kesempatan belajar.
Tak aneh jika jumlah siswanya tak pernah banyak. Tahun 2019 ini misalnya, jumlah siswa mulai kelas VII hingga IX hanya 25 anak. Itu sudah termasuk empat anak yang baru mendaftar pada Penerimaan Peserta Didik Baru PPDB 2019 ini. Tahun 2019 ini pula, MTs Pakis meluluskan tujuh siswa.