Magelang, Gatra.com – Film bukan sekedar gambar bergerak. Dari masa ke masa, pita seluloid menyimpan rekaman peristiwa besar, gejala sosial dan kultural masyarakat.
Tahun 1926, film bisu berjudul “Loetoeng Kasaroeng” ditayangkan pertama kali di teater Elite and Majestic, Bandung. Hal itu mendorong diproduksinya film lokal pada tahun 1931, “Boenga Roos” dan “Indonesia Malaise” meskipun dengan hasil yang masih buruk.
Jepang kemudian mengangkut film-film ke Indonesia naik kapal perang sebagai alat propaganda. Menanam ilusi di alam bawah sadar bahwa mereka datang sebagai ‘Saudara Tua’ yang suatu saat nanti membantu kemerdekaan Indonesia.
Hingga puncaknya, sutradara Usmar Ismail mengambil gambar pertama film “Darah dan Doa” atau Long March of Siliwangi, pada 30 Maret 1950 yang kemudian dijadikan Hari Film Nasional.
Meski sempat naik-turun layar berkali-kali, konsistensi lampu dan sorot kamera tak pernah membuat industri film Indonesia benar-benar mati. Sejak 1998 hingga sekarang, industri film terus menggeliat.
Tapi peran bioskop sebagai salah satu distributor layar lebar, justru sering dianggap sebagai tembok penghalang komunikasi film dengan penontonnya. Harga tiket yang tak bisa dibilang murah dan jangkauan jaringan bioskop yang terbatas di kota-kota besar, membuat film hanya bisa dinikmati sebagian orang.
Bioskop membatasi jangkauan ide sebuah film. Hal itu yang melatari Nanang Panji Warisno menggagas Sinema Akhir Pekan (SAP) Menonton. Kelompok kolektif penggiat film yang menggelar nonton film bareng gratis. Sebulan sekali SAP memutar film-film pendek di Room Theater Perpustakaan Pemerintah Kabupaten Magelang di Muntilan.
Pada 3 Mei 2019, SAP Menonton memutar film berjudul “Law Siek Gie” karya sutradara Claudio Aldo dan “Incang Inceng”, sutradara Kelik Sri Nugroho.
Sempat jeda selama bulan Ramadan, pada 6 Juli 2019 diadakan pemutaran film kedua. Kali ini film “Kepaten” karya Ayesa Alma Almera dan “Natalan” karya Sidharta Tata disuguhkan kepada para penonton.
“Aku ingin mempertemukan sinema lebih dekat ke masyarakat. Aku bikin film itu kebanyakan di desa-desa. Tapi kenapa setelah jadi, tayang di kota. Ditonton oleh kebanyakan mahasiswa?” Kata Panji.
Mahasiswa semester IX, Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta ini, ingin film bisa dinikmati masyarakat luas. Pilihan memutar film pendek juga sebagai alternatif dari tema film mainstream yang biasa diputar di bioskop.
Latar cerita film pendek atau film kelas festival lebih dekat dengan masalah yang terjadi di masyarakat. Panji menyebut film “Ku Cumbu Tubuh Indahmu”, “Marlina”, “Istirahatlah Kata-kata” dan “Ziarah” sebagai film yang berhasil merekam isu-isu sosial.
Sebagai karya idealis, produksi film pendek atau festival sering jeblok di pasaran. “Ku Cumbu Tubuh Indahmu” kata Panji, hanya dilihat 8 ribu penonton. “Istirahatlah Kata-Kata” cuma menjaring 40 ribu penonton, sedangkan film “Marlina” 200 ribu penonton.
i sinilah peran SAP Menonton yang juga punya misi mengedukasi penonton agar peka terhadap isu-isu sosial. “Film-film festival lebih banyak memancing diskusi. Bagi saya ‘iqro’ itu artinya bukan hanya ‘bacalah’ tapi ‘tontonlah’.”
Diskusi membaca situasi itulah yang hendak dikail melalui menonton film. Mengajak anak-anak muda terlibat dalam proses mencari solusi atau menyadari kondisi masyarakat di sekitarnya.
“Kemarin selain diskusi soal film juga mulai muncul pertanyaan dari penonton bagaimana bikin film yang bagus, berapa biaya pembuatan film. Mungkin ini bisa jadi pemantik awal.”
Antusiasme penonton juga positif. Dari 30 kursi yang tersedia, 24 terisi. Padahal promosi acara hanya melalui Instagram dan pesan berantai. Untuk mengantisipasi jumlah penonton yang membeludak, ke depan, Sinema Akhir Pekan akan membagi waktu ke beberapa slot pemutaran film. Juga muncul ide, penonton patungan membeli camilan teman menikmati film.
Lewat pukul 8 malam, tak banyak kegiatan yang bisa dilakukan di Muntilan. Selain kesibukan lalu lintas jalan Jogja-Semarang dan pasar tradisional, kecamatan ini lebih banyak tidur.