Jakarta, Gatra.com - Kuasa Hukum Sjamsul Nursalim, Maqdir Ismail, memastikan kliennya tidak pernah menerima panggilan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat kemarin (19/7).
“Tindakan KPK secara sengaja menempelkan copy surat panggilan di papan pengumuman PN Jakarta Pusat, seolah-olah telah menjalankan panggilan sesuai dengan hukum, adalah bukti bahwa KPK tidak menghormati putusan MA,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (20/7).
Ia pun meminta KPK menghormati putusan Mahkamah Agung (MA) telah membebaskan Syafruddin Arsyad Temenggung yang awalnya didakwa melakukan perbuatan pidana bersama-sama dengan kliennya tersebut.
“Dengan demikian berarti bahwa kedudukan SN [Sjamsul Nursalim] dan IN [Itjih Nursalim] sebagai kawan peserta dari SAT [Syafruddin Arsyad Temenggung] dalam melakukan perbuatan pidana adalah batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya,” ujar Maqdir.
Baca juga: KPK Bantu BPK Gugat Perdata Sjamsul Nursalim
Seperti diketahui, MA sebagai lembaga peradilan tertinggi di negara ini telah memutuskan bahwa penerbitan SKL BLBI BDNI bukan merupakan tindak pidana sesuai dengan Release and Discharge yang diberikan Pemerintah kepada Sjamsul Nursalim pada tahun 1999 karena telah memenuhi seluruh kewajibannya.
Presiden pada tahun 2002 juga telah mengeluarkan Instruksi Presiden yang intinya menginstruksikan bagi pihak yang telah menandatangani MSAA dan telah menerima Release and Discharge dari Pemerintah sebagai bukti penyelesaian kewajiban, wajib diberikan bukti jaminan kepastian hukum dan membebaskannya dari segala aspek pidana yang diikuti dengan instruksi penghentian perkara baik di tahap penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan.
“Seharusnya Pimpinan KPK berbesar hati untuk menerima Putusan MA yang menyatakan bahwa perkara yang terkait SN [Sjamsul Nursalim] dan IN [Itjih Nursalim] bukan lagi merupakan perkara yang dapat ditangani oleh KPK,” katanya.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim sebagai tersangka karena diduga telah melakukan misrepresentasi. Kasus ini merupakan pengembangan perkara dari fakta persidangan terhadap Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung.
Baca juga: KPK Pastikan Kasus Sjamsul-Itjih Nursalim Terus Berjalan
Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim ditetapkan sebagai tersangka karena telah melakukan misrepresentasi. Keduanya pun telah pernah dipanggil untuk dimintai keterangan sebagai tersangka pada Jumat lalu (28/6). Namun keduanya mangkir tanpa alasan dari panggilan tersebut.
Kasus ini merupakan pengembangan perkara dari fakta persidangan terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung. Sjamsul Nursalim selaku pemilik BDNI melakukan misrepresentasi.
Namun, majelis hakim kasasi MA mementahkan dakwaan hingga vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. MA membebaskan Syafruddin dari segala tuntutan hukum. Sementara itu, KPK mengatakan bahwa kasus ini akan terus diusut walau Syafruddin sudah bebas dari tuntutan.
Adapun misrepresentasi yang dilakukan Syafruddin bersama-sama Sjamsul yakni memasukkan piutang petani tambak Dipasena sejumlah Rp4,8 triliun itu lancar, sedangkan utang para petani tambak tersebut ternyata piutang macet.
Baca juga: Hirup Udara Bebas, Syafruddin Temenggung Pamer Buku BLBI
Utang petambak itu macet sebagaimana hasil Financial Due Diligence (FDD). BPPN kemudian menyurati Sjamsul untuk menambah jaminan aset sebesar Rp4,8 triliun. Namun Sjamsul menolak dengan alasan kredit petambak termasuk kredit usaha kecil (KUK). Karena itu, hakim menilai penolakan itu justru bertentangan dengan Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA).
Namun, pada April 2004, malah terjadi penandatangan Akta Perjanjian Penyelesaian oleh Syafruddin dengan istri Sjamsul, Itjih Nursalim. Perjanjian tersebut menyatakan bahwa pemegang saham BDNI ini telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan yang diatur dalam MSAA. Lalu diterbitkanlah Surat Keterangan Lunas SKL-22 untuk Sjamsul Nursalim.
Atas perbuatan tersebut, Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.