Jakarta, Gatra.com - Profesor Antropologi Budaya King Fahd University of Petroleum and Minerals, Sumanto Al Qurtuby menilai beberapa kalangan di Indonesia masih salah paham tentang pluralisme. Hal tersebut terlihat dari adanya kelompok yang menolak pluralisme dan memaksakan eksistensi suatu agama.
"Karena adanya kelompok-kelompok atau individu yang mengubah atau memaksa praktik-praktik keagamaannya supaya Indonesia tidak berjalan sebagaimana Indonesia seperti diharapkan," ujar Sumanto di kantor CSIS, Tanah Abang, Jakarta, Jumat (19/7).
Menurutnya kelompok-kelompok tersebut masih belum memahami konsep pluralisme. Bahkan ia menyebut MUI pernah salah paham tentang pluralisme
"Kekhawatiran itu banyak terjadi karena salah paham tentang pluralisme sampai MUI juga pernah mengharamkan pluralisme. Tantangan dari kelompok anti pluralis ini macam-macam, anti pluralis berdasarkan agama, berdasarkan etnis, berdasarkan kelompok," ucap Sumanto.
Ia lalu menjelaskan tentang perbedaan antara pluralisme dan pluralitas. Menurutnya masih banyak yang belum bisa membedakan keduanya.
"Perbedaan pluralitas dan pluralisme itu seperti apa? Banyak orang mencampur adukkan antara pluralitas dan pluralisme," tambahnya.
Dirinya menjelaskan bahwa pluralisme dibangun atas dasar pluralitas. Sebab pluralitas adalah kemajemukan, kebhinnekaan dan persatuan. Wajar jika ada kelompok atau individu tertentu tidak suka dengan persatuan.
"Dari sekian buku yang saya baca, saya menemukan yang menarik bahwa pluralitas itu bisa diciptakan oleh masyarakat ataupun yang sudah ada di dalam masyarakat itu sendiri," ujarnya.
Konsep keberagaman itu menurutnya mesti dipahami dengan baik sehingga tidak ada dikotomi antara pluralisme dengan ideologi tertentu.
"Pluralitas itu bisa menjadi pluralisme atau justru bisa menjadi sebaliknya. Banyak yang tidak suka dengan kemajemukan, mengganggu ideologi, bahkan agama tertentu. Faktanya memang banyak kelompok yang tidak suka dengan pluralisme, kebhinekaan dan kemajemukan," ungkapnya.
Lebih lanjut ia menerangkan jika adanya pluralitas belum tentu pluralisme. Sebab dalam pluralisme itu ada jembatan komunikasi untuk mengetahui satu sama lain.
"Jadi pluralitas itu belum tentu pluralisme, meskipun terkumpul masjid, gereja, kuil. Itu pluralitas, otomatis pluralitas, tapi belum tentu pluralisme. Karena tidak ada energetic engagement atau bisa dibilang komunikasi yang mendalam antar mereka," ujarnya lagi.