Jakarta, Gatra.com – Setelah era reformasi, Indonesia dihadapkan pada percaturan politik yang kuat dan multidimensi. Munculnya banyak partai politik dan organisasi kemasyarakatan menandakan demokrasi telah tumbuh kembang dalam era kebebasan dan perubahan. Demokrasi yang bertumpu pada kekuatan rakyat menjadi corak selama puluhan tahun lamanya.
Namun bak mata pisau, demokrasi juga mempunyai tantangan sendiri. Ia harus diposisikan pada peran yang sebagaimana mestinya. Demokrasi harus mampu menguatkan aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan.
Sementara dinamika itu tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal tetapi juga faktor eksternal. Suhu politik di tanah air, bentuk dan kecondongannya dipengaruhi oleh pusaran geopolitik global dan geoekonomi global. Bahwa dalam kehidupan politik dikenal dogma-- siapa kuat dia yang menang.
Penjelasan itu menjadi tema yang disampaikan oleh Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Irjen Pol Gatot Eddy Pramono dalam kuliah umum “Demokrasi dan Tantangannya Dalam Menjaga Persatuan dan Kesatuan” di Kampus UI Salemba, Jakarta, Kamis (18/7). Penjelasan itu ia paparkan di hadapan ratusan peserta kuliah umum yang terdiri dari mahasiswa dan undangan.
Kegiatan tersebut turut dihadiri oleh Ketua Umum ILUNI UI Arief Budhy Hardono, Ketua Umum ILUNI UI Pasca Sarjana Audrey Tangkudung, Wakil Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Irjen Pol (Purn.) Benny Mamoto, Direktur Sekolah Ilmu Lingkungan UI Emil Budianto, Kepala Prodi dan dosen.
Dalam pemaparannya Gatot menjelaskan bahwa Indonesia tengah berada dalam pusaran “pertarungan” geopolitik global. “Ada beberapa faktor yang memengaruhi dinamika berbangsa dan bernegara kita, faktor internal dan faktor eksternal. Bagaimanapun politik internasional itu tidak bisa kita abaikan begitu saja,” katanya.
Oleh karena itu untuk menjadi bangsa yang kuat dan berkemajuan Indonesia harus mampu bertahan dalam pusaran tersebut dan jangan sampai terikut pada iklim perpecahan. Ia mencontohkan bagaimana rontoknya kejayaan Uni Sovyet dan Yugoslavia pasca perang dingin. Di kawasan Asia konflik masih terjadi di kawasan Timur Tengah, konflik India-Pakistan yang terus menegang dan banyak lagi.
“Banyak perubahan pada peta politik global lihat Uni Sovyet yang pecah menjadi negara pasca Gorbachev dengan kebijakan glasnost and perestroika. Yugoslavia terpecah,” lanjutnya. Keruntuhan Uni Sovyet juga berdampak pada perkembangan demokrasi di tanah air. Matinya paham komunisme dan tumbuhnya kesadaran demokrasi yang berkelindan dengan pluralisme agama, suku, dan ras.
Indonesia perlahan menemukan jati diri berdemokrasinya. “Demokrasi berkembang di negara kita pasca perang dingin. Beberapa pakar mengatakan sudah tidak akan ada lagi perang pasca perang dingin. Perang dingin adalah kematian dari ideologi komunis. Yang berkembang sekarang adalah demokrasi liberal, muncul paham siapa yang mengikuti ini tidak akan kalah,” ucap mantan Staf Ahli Sosial Ekonomi Kapolri tersebut.
Untuk itu ia menyebut Indonesia harus keluar dari ketidakteraturan itu. Api konflik akan muncul karena ketidakmampuan suatu negara untuk beradaptasi dengan arus perkembangan global. Bangsa yang pecah adalah bangsa yang sibuk mengurus pertarungan ideologinya masing-masing, tidak mau menerima perubahan dan perbedaan, mengabaikan kondisi geopolitik dan geoekonomi global dan sebagainya.
“Dalam politik internasional itu ada yang disebut namanya anarki. Anarki itu tidak dipahami sebagai sesuatu kekerasan tetapi ada suatu ketidakaturan dalam dunia internasional. Bahwa sering terjadi perselisihan, peperangan, konflik antar negara dan sebagainya,” ujar Gatot.
Indonesia menurutnya harus memosisikan diri sebagai negara yang mampu menjaga keutuhan itu di tengah porak-porandanya percaturan politik global. Gatot mengatakan keutuhan bangsa harus dirawat dari dalam. Sebab bila konflik terbuka terjadi maka akan sulit bagi negara lain melakukan cooling down.
“Pertanyaannya kita kan ada PBB?. PBB bukanlah sesuatu kekuatan (negara) yang bisa mengendorse untuk dapat melakukan intervensi terhadap situasi (keamanan) tersebut. Ia tidak punya kewenangan seperti presiden, seperti raja kalau itu monarki, atau seorang perdana menteri,” sambungnya.
Gatot menyebutkan saat ini paradigma global terus mengalami pergeseran. Konflik tidak lagi berlangsung secara terbuka dan konvensional tetapi memanfaatkan peranan dan latar dari non-state actor. Konflik gaya baru muncul dengan menggunakan perang pemikiran atau proxy-proxy. Sementara di lain sisi pengaruh itu kentara pada masyarakat Indonesia yang umumnya dominan diisi oleh kalangan masyarakat middle-low class.
“Bahwa masyarakat kita didominasi oleh masyarakat dengan low class ini menghadapi banyak tantangan. Mereka biasanya rentan dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu, kepentingan politik tertentu dan sebagainya,” ujarnya lagi. Bila dibawa pada konteks kekinian, Indonesia mengalami euforia demokrasi pasca 1998. Dalam fase itu muncul liberalisme pemikiran bahwa masyarakat bebas berserikat dan berpendapat, tanpa rambu-rambu apapun.
“Ketika masa itu kita mengalami suatu euforia demokrasi, bermunculannya partai-partai baru, kebebasan berserikat dan berpendapat, ini demokrasi. ‘Saya bayar pajak jadi bebas untuk apa-apanya’. Semakin ke sini makin baik, ada tindakan-tindakan anarki tapi (intensitasnya) tidak seperti dulu, karena kita masih dalam tahap transisi demokrasi, belum sampai pada konsolidasi demokrasi, dimana media massa lebih berperan,” tutupnya.