Jakarta, Gatra.com - Pakar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana mengungkapkan, dalam menjaga kedaulatan terutama mengenai ilegal fishing, Indonesia belum menegakan efektivitas.
Menurut Hikmahanto, dalam konteks hukum Internasional efektivitas menjadi penting disamping penegakan hukum kedaulatan.
"Karena kalau kita klaim harus juga dibarengi ekspoitasi dan eksplorasi. Kalau tidak nelayan yang beraktivitas atau pelaku usaha yang eksplorasi dan ekspoitasi di sana tidak ada artinya," katanya ditemui di Hotel Aryaduta, Jakarta, Kamis (18/7).
Terlebih, kata Hikmahanto, Indonesia mempunyai wilayah overlapping klaim, paling tidak terhadap 10 negara. Baik itu masalah kedaulatan maupun zona maritim.
Dalam overlapping ini kerap terjadi insiden dengan negara lain. "Cina penduduknya 1,4 milyar. Makanya jangan heran Cina agresif di laut. Bahkan, Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) kita tidak diakui di Natuna," ujarnya.
Sehingga, lanjutnya, kondisinya menurut Pemerintah Indonesia kapal milik Cina adalah pencuri. Tetapi, menurut Pemerintah Cina tidak. Bahkan, Cina menanggap memiliki fishing ground traditional nelayan mereka. Sebabnya, Cina selalu mengawasi nelayan-nya dengan post guard
"Itu tegas meraka lakukan. Karena berfikir 1,4 milyar penduduk yang harus makan. Yang lebih lagi Cina suruh melakukan penangkapan ikan di wilayah ZEE dengan di jaga oleh post guard Cina. Vietnam juga seperti itu," ia menjelaskan.
Karena itu, ia mendukung, upaya Presiden yang sempat menginstruksikan agar nelayan di Pantai Utara untuk pergi ke Natuna. "Nah ini saya tidak tahu dilakukan apa belum. Kalau nelayan tidak dikasih insentif tidak mungkin mereka ke sana," jelasnya.
Oleh sebab itu, menurutnya, penting kehadiran otoritas dalam rangka melindungi aktivitas nelayan maupun pelaku usaha. Tentu, hal ini harus dibarengi dengan anggaran yang cukup.