Indonesia sudah berhasil swasembada beras sejak 2016. Pada 2018 lalu surplus beras bahkan mencapai 2,85 juta ton. Tapi ironisnya, impor beras tetap dilakukan karena harga beras di pasar melonjak. Swasembada pangan belum bisa diikuti dengan stabilisasi harga.
GATRAreview.com - Apakah Indonesia sudah swasembada pangan? Jawabnya sudah. Bahkan sudah sejak 2018. Terlebih lagi, menurut Kementerian Pertanian, swasembada beras sebenarnya sudah terjadi sejak 2016. Tapi karena banyak perdebatan soal data beras di masa lalu, lebih baik pembahasan soal beras dimulai sejak 2018 saja.
Banyak yang masih ingat betapa pada awal 2018 lalu, Menteri Pertanian Amran Nasution mendeklarasikan bahwa Indonesia sudah berhasil swasembada pangan pada empat komoditas. Yaitu beras, jagung, cabai dan bawang (merah).
Mengutip data resmi Badan Pusat Statistik, pada 2018 lalu Indonesia berhasil memproduksi 32,42 juta ton beras. Padahal konsums beras nasional pada 2018 hanya 29,57 juta ton. Ini berarti ada surplus beras sebesar 2,85 juta ton.
Statistik Beras 2018
Luas panen: 10,90 juta hektar
Produksi padi: 56.54 juta ton
Produksi beras: 32,42 juta ton
Konsumsi beras 2018: 29,57 juta ton
Surplus: 2,85 juta ton
Sumber: BPS
Bisa mencapai surplus 2,85 juta ton beras jelas sudah swasembada. Lagipula, berdasarkan ketetapan Badan Pangan Dunia atau FAO (Food and Agriculture Organization), suatu negara dikatakan swasembada bila produksi pangannya mencapai 90% dari total kebutuhan nasional. Karena itu, isu di sektor perberasan memang bukan lagi soal swasembada, melainkan lebih menukik lagi. Yaitu mengapa meski sudah swasembada, Indonesia tetap impor beras?
Meski swasembada, tetap impor
Ini memang salah satu ironi sektor pangan kita. Meski sudah swasembada, tidak berarti impor berhenti. Bahkan sebaliknya. Pada 2018 pemerintah melakukan impor beras secara massif dan bahkan memicu perselisihan antara Kepala Bulog dan Menteri Perdagangan.
Berikut statistik impor beras 2016-2018 berdasarkan data BPS.
2016: 1,28 juta ton
2017: 305 ribu ton
2018: 2,25 juta ton.
Tahun 2018 menarik dicermati karena pada tahun itu impor beras terbilang “gila-gilaan”, hampir mendekati angka surplus beras. Mengapa impor dilakukan, jawabannya cuma satu, yaitu harga. Swasembada beras tidak menjamin harga beras stabil. Sebaliknya, harga beras bisa berfluktuasi. Dan fluktuasi harga beras sepanjang 2018 bisa dibilang cukup mengkhawatirkan. Berdasarkan catatan GatraReview, sepanjang 2018 harga beras terus merambat naik.
Ada dua kualitas beras yang banyak beredar di masyarakat, yaitu beras medium dan premium, yang dibedakan berdasarkan derajat sosoh, kadar air dan butir patah. Beras jenis premium misalnya harus meiliki derajat sosoh minimal 95%, kadar air maksimal 14%, dan butir patah maksimal 15%. Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan menetapkan harga acuan untuk dua kategori beras tersebut, diatur lewat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag).
Berdasarkan Permendag Nomor 57 Tahun 2017 (direvisi), beras medium misalnya dipatok memiliki Harga Eceran Tertinggi (HET) sebesar Rp 8.900 per kilogram, sedang beras premium Rp 12.800 per kilogram. Tapi harga beras di peraturan Menteri Perdagangan dan harga di pasar jelas jauh berbeda. Harga beras di pasar sering tidak menggubris ketentuan harga pemerintah.
Pada Januari 2018 saja, harga pasaran beras premium di beberapa pasar tradisional di Jakarta sudah mendekati Rp 11.000 per kilogram. Harga beras premium lebih mahal lagi, bisa mencapai Rp 14.000 per kilogram. Fluktuasi harga beras ini salah satu alasan mengapa impor beras akhirnya dilakukan. Asumsinya, banjir beras impor akan menurunkan harga beras.
“Impor beras dilakukan karena harganya masih tinggi. Kami melihat kebijakan itu sebagai cerminan atas kenaikan harga dan persediaan yang kurang,” kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita di kantor Menteri Koordinator Perekonomian, 27 Agustus 2018 lalu. Guyuran impor beras dan revisi HET beras medium memang membuat harga turun. Tapi cuma sedikit dan harganya pun tetap di atas HET.
Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PHIPS) Bank Indonesia (BI), yang bisa diakses lewat website https:hargapangan.id, sepanjang 2018 untuk harga beras medium kualitas 1, untuk wilayah Jawa, belum pernah sekalipun harganya turun di bawah Rp 10.000 per kilogram.
Swasembada dan stabilisasi harga
Ini memang tantangan yang harus dihadapi pemerintah, bagaimana agar swasembada pangan bisa berkorelasi dengan harga murah. Sebab, apa artinya swasembada bila harga pangan mahal? Yang dibutuhkan memang kerja sama lintas kementerian, terutama antara Kementerian Pertanian yang mengurusi soal produksi beras, dan Kementerian Perdagangan yang mengurusi soal impor dan harga.
Sayangnya terkadang masih ada konlfik antara berbagai pihak yang mengurusi sektor perberasan. Konflik terbuka antara Kepala Bulog Budi Waseso dengan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita pada Desember 2018 lalu terkait kebijakan impor beras, yang lalu berlanjut dengan konflik terkait impor bawang putih, sudah cukup memperlihatkan kepada masyarakat betapa kacaunya pengaturan sektor perberasan di negeri ini.
Pemerintah tidak bisa lagi hanya menargetkan swasembada pangan, tapi harus lebih menukik lagi ke soal stabilisasi harga. Lagipula, ini baru di komoditas beras. Komoditas lain yang sudah berstatus swasembada seperti jagung, bawang merah dan cabai, juga juga menghadapi masalah serupa. Swasembada iya, tapi tetap impor karena harga mahal.
Basfin Siregar