Yogyakarta, Gatra.com – Setara Institute menilai intruksi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor I/Instruksi/2019 tentang pencegahan konflik sosial dinilai menjadi tonggak perlawanan terhadap aksi intoleran. Pemda dan tokoh masyarakat diminta mengawal penerapan instruksi ini hingga ke masyarakat.
Hal ini mengemuka dalam diskusi Setara Institute dengan media bertajuk ‘Mendorong dan Memperkuat Kebijakan Toleran di Yogyakarta’ yang berlangsung di Hotel Mercure pada Rabu (17/7) petang.
Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani menuturkan, intruksi yang dikeluarkan pada 4 April 2019 ini bentuk perlawanan negara terhadap aksi intoleran yang makin marak. “Dalam instruksi yang memuat delapan poin itu, Gubernur DIY melarang aksi intoleran dan diskriminatif,” ujarnya.
Baca Juga: Sudah Kantongi IMB, Gereja di Bantul Ditolak Warga
Menurut Ismail, instruksi ini menjadi momentum yang tepat bagi pemerintah pusat dan daerah untuk melahirkan aturan serupa. Dengan begitu, aksi-aksi intoleran yang berkembang selama 10 tahun terakhir ini makin terbatas ruang geraknya.
Selain itu, instruksi ini akan menjadi acuan dan mendorong lahirnya berbagai produk hukum hingga tingkat bawah. Dalam risetnya tahun lalu, Setara Institute menemukan Pemda DIY memiliki 24 produk hukum yang menimbulkan diskriminasi.
“Dampaknya dirasakan secara langsung atau tidak langsung oleh kalangan minoritas. Salah satunya seperti aturan berjilbab di sekolah dan kasus Slamet di Pleret, Bantul, yang terusir karena berbeda keyakinan,” ujar Ismail.
Baca Juga: Perusakan Sedekah Laut di Bantul, Polisi Jangan Diam
Setara Institute menyatakan ada 77 kasus diskriminatif yang menyasar 81 kelompok urban di DIY hingga tahun lalu. Selain itu, ada 148 kasus pelayanan publik yang diskriminatif dan 102 kasus pada pelayanan jasa.
Dalam diskusi ini, Direktur Institute Dian/ Interfidei Elga Sarapung mengatakan, DIY memang telah melahirkan aturan yang melarang aksi intoleran, seperti membatalkan kewajiban memakai jilbab di sekolah negeri. Namun instruksi Gubernur DIY itu dinilai tidak akan efektif jika masyarakat bawah aparat dan tokoh masyarakat tak menerapkannya.
“Saya sudah berkomunikasi dengan (lembaga) Paniradya Keistimewaan untuk terus mengawal pelaksanaan instruksi hingga tingkat bawah. Faktanya memang selama ini banyak aturan di tingkat bawah tidak mengacu pada aturan di atasnya,” ujar Elga.
Menurut Elga, selama ini DIY dikenal sebagai daerah istimewa karena mendapat predikat kota toleransi. Namun kasus intoleransi justru kerap terjadi.
Baca Juga: Pedukuhan di Bantul Larang Tinggal Warga Beda Agama
Adapun Koordinator Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) Yogyakarta Agnes Dwirusjiyati mengatakan, kasus-kasus intoleransi bisa menemukan titik temu setelah diberitakan media massa.
“Salah satu contohnya adalah kasus gereja di Sedayu, Bantul. Pada awalnya warga bersikukuh pada kesepakatan yang melarang adanya gereja. Namun dalam mediasi kedua, warga melunak karena adanya pemberitaan media yang masif,” ujarnya.
Sebelumnya Gubernur DIY menerbitkan instruksi yang ditujukan pada Bupati dan Wali Kota di DIY untuk mencegah, membina, mengawasi, dan merespons dengan cepat serta tepat jika ada permasalahan sosial dan berpotensi konflik sosial.