Jakarta, Gatra.com – Status kekurangan gizi (stunting) pada anak-anak masih menjadi persoalan besar di Indonesia. Hal itu mendapatkan perhatian sebagai upaya mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) pada 2030 mendatang.
Menteri Kesehatan RI (Menkes), Nila Moeloek menjelaskan, stunting bukan disebabkan oleh harga pangan yang meningkat. Proses stunting sebenarnya sudah dimulai sejak masa kehamilan bagaimana pola makan ibunya.
Apalagi, pada seribu hari kehidupan, 270 harinya calon bayi menghabiskan hidupnya di dalam kandungan. Sedangkan, jika makanan ibunya kurang gizi maka akan menimbulkan infeksi kronis yang seringkali terjadi pada ibu hamil.
Ia melanjutkan, pentingnya ibu hamil dalam mengonsumsi makanan yang bergizi. Terlebih, ibu-ibu yang berada di daerah bisa memanfaatkan potensi pangan lokal yang bisa menghasilkan asupan kaya gizi.
“Infreksi kronis yang sering menyerang ibu hamil ini saya tidak mau menyalahkan harga pangan. Seperti di Sumbawa, kan ada daun kelor yang bisa dimanfaatkan karena mengandung vitamin A, kalsium serta zat besi. Ada banyak makanan lokal kaya gizi yang bisa dimanfaatkan,” katanya saat acara diskusi dan paparan publik Pencerahan Nusantara di Gedung LIPI, Jakarta Selatan, Rabu (17/7).
Menkes meminta program Pencerah Nusantara ikut berinovasi dengan masyarakat di Sumbawa Barat untuk mengolah daun kelor ini menjadi tepung dan sebagainya
Menurutnya, pemanfaatan bahan pangan lokal seperti daun kelor sangat membantu ibu hamil mendapatkan gizi yang cukup. Selain murah, panganan lokal ini pun mudah di dapatkan di daerah. Artinya, asupan makanan yang dikonsumsi tidaklah harus mahal, tetapi berkualitas dan tentunya kaya akan gizi.
“Di samping ibu hamil, bagi ibu yang sudah melahirkan bisa terus memberikan ASI selama 6 bulan setelah itu dilanjutkan dengan makanan pendamping (MPASI). Saya kira, bahan pangan untuk MPASI ada banyak di Indonesia, karena bayi kalau makan tidak langsung yang berat. Betul memang kita harus memperhatikan ketahanan pangan, tetapi kalau kita kreatif dan inovatif bisa mendapatkan banyak memanfaatkan banyak bahan pangan lokal,” terangnya.
Misalnya di Maluku, sambungnya, makanan utamanya kan dulu bukan beras, tapi pisang. Pisang memiliki kandungan karbohidrat yang sama dengan nasi. Di Papau pun makanannya sagu. Tetapi sekarang pola makannya mulai berubah. “Sekali lagi, ini semua kembali pada perilaku dan pola makan. Potensi hasil pangan di setiap daerah banyak dan harus dimanfaatkan,” imbaunya.