Home Gaya Hidup Resensi The Lion King:Cerita Tak Berubah dengan Visual Indah

Resensi The Lion King:Cerita Tak Berubah dengan Visual Indah

Jakarta, Gatra.com – Eksploitasi nostalgi ala Disney terus berlanjut. Beberapa tahun belakangan, raksasa produksi film tersebut sedang getol-getolnya membuat remake sejumlah animasi klasik mereka dalam format live-action. Mulai dari Cinderella (2015), The Jungle Book (2016), Pete’s Dragon (2016), The Beauty and the Beast (2017), Dumbo (2019), Aladdin (2019), serta yang terbaru The Lion King. Walau The Lion King kurang tepat disebut “live-action” karena tak ada tokoh manusia di film ini. Sebelumnya pada1994, film The Lion King menjadi film animasi fenomenal dengan memenangi dua piala Oscar. 

The Lion King dibuka dengan scene seremoni penahbisan Simba kecil (JD McCrary). Dia diharapkan jadi raja yang nanti akan menggantikan ayahnya, Mufasa (James Earl Jones) memimpin kerajaan Pride Land. Dalam perjalanannya mencari jati diri sebagai calon raja, Simba kecil mendapat banyak halangan dari bertemu dengan kawanan hiena jahat yang dipimpin oleh Shenzi (Eric Andre) dan juga pamannya yang tak kalah jahatnya yaitu Scar (Chiwetel Ejiofor). Namun, Simba kecil juga mendapat banyak perhatian dari ibunya Sarabi (Alfre Woodard), burung kerajaan bernama Zazu (John Oliver), dan teman dekat Simba, Nala (Shahadi Wright Joseph).

Simba kecil merupakan singa muda yang energik dan tidak kenal takut. Suatu ketika Scar berencana mengkudeta Mufasa dengan memanfaatkan kepolosan Simba dan kelicikan kawanan hiena. 

Tragedi masa kecil Simba membuatnya kabur dari Pride Land dan bertemu duo sahabat, babi hutan Pumbaa (Seth Rogen) dan meerkat Timon (Billy Eichner). Simba dan dua teman barunya akhirnya tumbuh kembang bersama. Manganut filosofi hidup “Hakuna Matata” yang artinya "Jangan Khawatir", Simba dewasa (Donald Glover) pun mulai melupakan takdirnya sebagai raja. Sampai akhirnya Nala dewasa (Beyonce Knowles) dan babon kerajaan bernama Rafiki (John Kani) mencoba meyakinkan Simba untuk melawan kekuasaan Scar dan menjalani takdirnya sebagai raja Pride Land.

Setelah sebelumnya menggarap The Jungle Book, Jon Favreau kembali didapuk menempati kursi sutradara. Mengandalkan computer-generated imagery (CGI) kekinian, dia nampaknya ingin menyajikan cerita The Lion King dalam bentuk yang lebih nyata. Favreau menggunakan teknik fotorealistik untuk menampilkan karakter hewan secara realistis dalam film The Lion King terbaru ini. Mereka juga memaksimalkan teknologi VR/AR di sini. Teknik yang lebih maju dibanding saat pertama kali James Cameron dengan Avatar (2009) memprakarsai metode teknik perekaman digital sembari para aktor mengenakan kostum hijau khusus. Hasilnya, penonton dimanjakan dengan visualisasi ciamik yang menampilkan kehidupan liar para hewan di savana luas Afrika. 

Sebagai remake, Favreau tak mau repot mengubah cerita dari versi 1994 lalu. Namun, Favreau sedikit memperpanjang durasi kali ini. Hal ini dirasa tepat dikarenakan, penambahan durasi difokuskan pada latar belakang karakter Mufasa yang di film 1994 tidak banyak dimunculkan. Film kali ini juga nampaknya lebih memfokuskan visual yang elok dan menawan ketimbang dari sisi cerita. Wajar karena cerita original di film 1994 dinilai banyak kalangan sudah sempurna dengan apa adanya.

Dalam satu sesi wawancara, Glover, sebagai pemeran Simba dewasa, menyatakan kalau film 2019 ini memiliki lebih banyak fokus pada Simba dibanding versi sebelumnya. Karena sutradara bertekad ingin memastikan bahwa penonton melihat seperti apa transisi Simba dari bocah menjadi dewasa dan bagaimana sulitnya gejolak emosi yang dia hadapi setelah menyaksikan trauma yang mendalam.

Dua dekade berlalu, ada banyak perubahan sosial terjadi di Hollywood. Misalnya soal ketegangan ras. Tak heran, jika Aladdin sebelumnya sempat menuai amarah karena tadinya para aktor kulit putih yang direncanakan memerankan karakter Timur Tengah. Hal yang urung dilakukan. 

Demikian pula di The Lion King. Jika diperhatikan, tak seperti versi 1994, mayoritas aktornya kali ini berasal dari Afrika ataupun Afrika-Amerika. Hanya Billy Eichner, Seth Rogen, dan John Oliver yang berasal dari ras kaukasian. Ketiganya pun tidak mengisi suara singa-singa, hiena-hiena, atau hewan mana pun yang menggunakan aksen Swahili.  Bahkan beberapa nama juga diganti. Nama-nama para hiena: Shenzi, Kamari, dan Azizi diambil dari kata Swahili, yang masing-masing berarti ganas, sangat kuat, dan cahaya bulan. Dalam versi 1994, Kamari dan Azizi dulu namanya Banzai dan Ed. 

Satu hal yang unik, Favreau memanggil kembali James Earl Jones (86 tahun) untuk mengisi suara ikonik Raja Mufasa. “Saya melihatnya sebagai cara meneruskan legacy dari karya klasik ini. Sekedar mendengar dia mengucapkan dialog itu pun sudah terasa sangat tidak nyata dan sulit dipercaya. Getaran suara dia memang sudah berubah. Tapi justru itu menguatkan kesan bahwa dia jadi terdengar seperti seorang raja yang sudah memerintah untuk waktu yang lama,” sebutnya dalam sebuah wawancara. 

Animasi klasik Disney memang banyak jumlahnya. Ke depannya, mereka tengah menyiapkan setidaknya dua film lagi, Mulan dan Little Mermaid. Jika hanya terus mengandalkan remake tanpa ada inovasi cerita, tren Disney ini dikhawatirkan kelak akan jadi membosankan. Tak ada salahnya membuat sekuel, seperti yang mereka lakukan dengan Winnie the Pooh (2011) dan Christopher Robin (2018). Atau juga kisah yang sama sekali berbeda, seperti Alice on Wonderland (2010) yang jauh beda dengan versi 1951.

Disney memprediksi The Lion King bisa meraup US$210 juta dalam pemutaran pekan pertama di Amerika Serikat saja. Jika ini tercapai, maka The Lion King akan mengalahkan rekor The Beauty and the Beast yang meraup US$174 juta. Film The Lion King sudah dapat dinikmati di bioskop-bioskop seluruh Indonesia mulai hari ini.


 

4399