Jakarta, Gatra.com- Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dr Daryono mengimbau agar masyarakat Bali dan sekitarnya waspada, sebab Bali memiliki sejarah gempa dan tsunami yang panjang dan berulang.
"Wilayah Bali selain rawan gempa akibat aktivitas tumbukan lempeng, juga sangat rawan gempa akibat sesar aktif. Salah satunya adalah struktur sesar yang terbentuk akibat hujaman balik proses subduksi yaitu Sesar Naik Flores di Timur Laut dan keberadaan zona subduksi lempeng di selatan Bali," ujar Daryono saat dikonfirmasi Gatra.com melalui pesan tertulis, Rabu (17/7).
Keberadaan struktur geologi Sesar Naik Flores di timurlaut dan Subduksi lempeng di Selatan, menurut Daryono bertanggung jawab terhadap sejumlah gempa besar yang diikuti tsunami, seperti gempa Bali pada 1815, 1857, 1917, 1976, 2011, dan 2019.
Daryono menyebut, ribuan orang meninggal akibat gempa berkekuatan 7,0 skala richter disertai tsunami pada 22 November 1815 . Selain itu, gempa yang cukup besar juga terjadi pada 21 Januari 1917 yang menyebabkan longsoran hebat di berbagai tempat di Bali.
"Sekitar 80% dari jumlah korban gempa diakibatkan oleh longsoran. Sejarah mencatat bahwa gempa ini menelan korban jiwa sebanyak 1.500 orang meninggal. Merusak 64.000 rumah termasuk istana, 10.000 lumbung beras, dan 2.431 Pura, termasuk Pura Besakih. Masyarakat Bali menjulukinya sebagai Gejer Bali yang artinya Bali Berguncang," papar Daryono.
Gempa berikutnya yang cukup menelan banyak korban ialah gempa pada 14 Juli 1976 berkekuatan 6,5 skala richter yang kerap disebut sebagai "Gempa Seririt". Daryono menyebut, sebanyak 573 orang meninggal dunia di Buleleng, Jembrana, dan Tabanan. Sementara 4.000 orang lainnya luka-luka dan sekitar 450.000 orang kehilangan tempat tinggal.
Menurut Daryono, penduduk yang tinggal di batas pertemuan lempeng tektonik harus mewaspadai kondisi alam pertanda gempa.
"Upaya strategis yang perlu dilakukan adalah meningkatkan dan mengembangkan kapasitas masyarakat dan lembaga terkait mitigasi bencana," ujar Daryono
Ia berujar, aspek sosial-budaya dalam rantai peringatan dini di bagian hilir, berhubungan langsung dengan masyarakat. Ini perlu ditopang melalui penguatan kapasitas pemerintah daerah dalam merespon informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami. Diharapkan, masyarakat lebih mampu mencegah dan mengurangi resiko bencana, serta merespon dengan cepat dan tepat setiap ada peringatan dini tsunami yang dikeluarkan BMKG.