Jakarta, Gatra.com - Salah satu persoalan yang belum tuntas dan menjadi "pekerjaan rumah" pemerintah adalah belum adanya regulasi yang mumpuni terhadap pertanahan. Undang-Undang pertanahan yang selama ini berlaku sudah berjalan hampir 60 tahun. Selama itu pula kebijakan terhadap bidang pertanahan tidak mengalami pembaruan.
Manager Kajian Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Boy Even Sembiring mengatakan seharusnya terdapat aturan yang lebih komprehensif dan mengatur lebih luas konsepsi yang ada dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) atau UU Nomor 5 Tahun 1960. Lebih jauh ia mengatakan bahwa RUU Pertanahan yang pernah digagas belum sesuai dengan semangat perubahan.
"Harapannya, ada UU Pertanahan yang lebih komprehensif dimana undang-undang tersebut mengatur lebih luas dari UU Pokok-Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Tetapi, logikanya bukan seperti RUU Pertanahan yang sedang dicanangkan saat ini sebab mengatur setiap perusahaan yang memasuki kawasan hutan diberikan waktu tertentu untuk menerbitkan izin dari kawasan tersebut," katanya saat ditemui di kantor Walhi, Tegal Parang, Jakarta, Selasa (16/7).
Hal tersebut menurutnya berpotensi pelanggaran karena negara melegalkan kejahatan dan memberi ruang kepada korporasi menguasai hak atas tanah melalui produk hukum. Terkait dengan penundaan penggodokan RUU Pertanahan yang sebelumnya diminta oleh Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil, Boy menjelaskan enam bulan bukan masa waktu yang ideal untuk mengesahkan RUU tersebut.
"Koalisi meminta penundaan, yang relevan adalah karena ini RUU ini merupakan usulan DPR RI, seharusnya Presiden RI, Joko Widodo menarik diri saja melalui Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Sofyan Djalil dari proses pembahasan RUU tersebut. Presiden Jokowi harus mengambil langkah tegas terkait permasalahan RUU Pertanahan ini dan sebaiknya dimasukkan dalam sidang paripurna awal lagi," ujanya.
Boy mengatakan sudah terlalu banyak UU yang dipaksakan rampung di sisa masa kabinet dan secara implementasi berantakan. Ia mencontohkan kegagalan UU Perkebunan Tahun 2004 dan UU Minerba Tahun 2009. Dirinya menyebut aturan yang terbit terlalu banyak mengorbankan kepentingan rakyat dan lebih kental nuansa politik.