Sejumlah inovasi teknologi lahir dari para peneliti dan periset BPPT. Di antaranya yang banyak menarik perhatian publik adalah elektronik pemilu atau e-Pemilu. Namun inovasi pemilu berbasis teknologi digital ini tidak diterapkan pada pelaksanaan pemilu 2019 karena dinilai masih harus melalui serangkaian uji coba. Hasil inovasi BPPT yang juga banyak dipuji adalah Kerangka Sample Area (KSA), yakni pencatatan data statistik dengan memaanfaatkan teknologi geoinformasi untuk menghitung estimasi data produksi padi nasional.
GATRAreview.com - Sejak Januari lalu, posisi pucuk pimpinan BPPT ditempati oleh Hammam Riza. Untuk mengetahui apa saja program prioritas BPPT di era kepemimpinan Hammam dan pandangannya terkait inovasi teknologi di Indonesia, wartawan Gatra Review Sujud Dwi Pratisto dan Ucha Jalistian Mone serta pewarta foto GatraReview mewancara mantan Deputi Sumber Daya Alam BPPT itu di ruang kerjanya, Gedung BPPT, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, akhir Mei lalu. Berikut petikannya:
Apa program prioritas BPPT di era kepemimpinan Anda?
Yang dilaksanakan oleh BPPT harus berbeda dengan apa yang dilaksanakan pada 2015-2019. Ke depan, BPPT ingin menghasilkan terobosan di bidang teknologi tidak hanya terbatas pada produk yang sudah dihasilkan. Saya juga meluncurkan program solid, smart, speed. Itu juga menjadi bagian penting bagi perubahan yang ingin kita ciptakan. Dengan tiga unsur tersebut, kita mengharapkan BPPT itu layaknya saat dibangun oleh B.J. Habibie (Kepala BPPT pertama). Semangat untuk mentransformasikan Indonesia harus lebih diperkuat. Apalagi dengan munculnya transformasi digital.
Apa yang perlu diperkuat agar inovasi teknologi di Indonesia tak kalah dengan negara lain?
Harap diingat sebetulnya Indonesia, Tiongkok, dan Korea itu pada waktu bersamaan menjalankan transformasi teknologi. Saat ini mereka maju, namun kita tertinggal. Kita tersendat pada 1998, saat terjadi krisis ekonomi. Ini saatnya kita menghadapi tahun 2020-2030 adalah saat bonus demografi akan kita alami.
Artinya, orang yang produktif bekerja jauh lebih banyak daripada yang tidak produktif. Jangan ada lagi pengangguran. Itu yang bisa membuat kita tumbuh sampai angka 6%. Kalau kita bisa tumbuh sampai 6%, kita akan keluar dari middle income trap. Hal ini menjadi rujukan saya, karena itu penting kita lakukan untuk menyongsong visi Indonesia emas. Yaitu menjadi negara besar nomor empat di dunia.
Harapannya, kita ingin menjadikan iptek sebagai penghela pertumbuhan ekonomi, agar bangsa kita mampu berdaya saing dengan bangsa lain yang sudah memanfaatkan ipteknya. Jadi kalau kita lihat, middle income trap harus bisa menggerakkan ekonomi. Kalau kita lihat global competitive index. Agar driven economy untuk bergerak menjadi innovation driven economy, tentu harus memanfaatkan ipteknya untuk melewati batas middle income trap.
Bagaimana komentar Anda tentang masih minimnya anggaran riset yang dialokasikan dalam APBN?
Kita inginkan iptek ini mendapat porsi yang besar. Karena itu, anggaran riset pengembangan pengkajian dan penerapan harus di fokuskan untuk mengembangkan semua. Jadi dari hulu ke hilir, kita mampu membentuk rantai nilai. Sebuah produk nantinya dihasilkan dari riset dasar, dilakukan riset terapan, dilakukan proses invensi, dan yang paling utama yaitu inovasi. Ini yang bisa menjadikan kita sebagai negara yang mempunyai skenario pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Yang kedua, saya mau menekankan pentingnya sumber daya manusia (SDM) yang baik. Nah, ini yang tertuang dalam smart SDM di BPPT. Karena memang inovasi dilahirkan oleh SDM yang capable. Karena BPPT ingin mengulangi capaian sukses membangun SDM yang cemerlang layaknya dulu zaman Habibie, yang mengirimkan ribuan orang untuk sekolah lanjutan di luar negeri. Itu kemudian menjadi penggerak seluruh program BPPT.
Apa strategi Anda untuk menrealisasikan “smart SDM” di BPPT?
Dalam kepemimpinan saya di BPPT ini, saya ingin mengejar jarak yang telah terjadi. Saya ingin kalau bisa 15%–20% atau 500 perekayasaan di BPPT ini sarjana S3 atau doktor. Semua unit ahli di sini adalah doktor. Karenanya, kemarin di raker 2019 BPPT, saya menyatakan target 500 program S3 beasiswa. Kemudian saya ingin mengejar 40% pegawai atau sekitar 700–800 pegawai itu S2 atau master. Kalau digabungkan kedua personel itu, hampir setengah dari jumlah karyawan BPPT punya pendidikan tinggi. Ini memang tidak mudah, karena selama ini belum ada keberpihakan anggarannya untuk kita mengirimkan orang.
Apa BPPT juga melakukan riset terkait inovasi kendaraan listrik?
Kita akan bangun inovasi kita dalam basis kendaraan bermotor listrik berbasis baterai. Untuk itu kita harus menguasai baterainya, harus menguasai charging. BPPT punya pusat teknologi berbasis sumber daya mineral, untuk melihat potensi bahan mineral dasar baterai itu, misalnya litium yang sumber materialnya ada di Indonesia. Nah, kemarin kan kita sudah buat ini stasiun fast charging, namun itu belum cukup. Kita akan kembangkan lagi fast charging melalui proses perekayasaan untuk motor listrik. Karena saya yakin, untuk motor listrik akan lebih banyak lagi peminatnya. Untuk motor ini memang potensinya besar, saya akan coba menjalankan program Ristekdikti, yaitu motor Gesit, untuk menjadi sebuah merek nasional dan komponen-komponennya akan bisa kuasai Indonesia.
Kenapa BPPT hanya fokus pada riset baterai kendaraan listrik?
BPPT tidak ingin mengerjakan semuanya, karena kita ingin membentuk pola konsorsium jadi kita ingin difokuskan pada sistem charging-nya. Karena ini bisa menjadi tantangan buat kita, kalau kita lihat charging mobil itu dipakai tiga jam, di-charge satu jam. Yang jadi tantangan sebetulnya, kita ingin membuat charging seperti HP (handphone), digunakan 12 jam tapi di-charge hanya 30 menit.
BPPT juga sangat menaruh perhatian pada riset inovasi e-Pemilu. Kenapa?
BPPT sampai saat ini masih berupaya untuk membuat upaya reformasi dalam penyelenggaraan pemilu. Karena memang kita ingin mengedepankan asas luberjurdil (langsung, umum, bebas rahasia, jujur, dan adil). Jawabannya sebetulnya ada di teknologi informasi dan komunikasi. Sekarang payung hukumnya juga sudah ada. Yang saya inginkan itu stakeholder pemilu mau melakukan revolusi mental untuk menggunakan e-Pemilu, termasuk penggunaan e-Voting, e-Verifikasi, dan e-Rekapitulasi. Saya inginkan e-Pemilu sudah bisa digunakan untuk pemilihan kepala daerah pada 2020.
Beberapa produk inovasi Indonesia masih kalah bersaing dengan luar negeri. Menurut Anda apa penyebabnya?
Sebetulnya, kualitas Indonesia dalam membuat produk inovasi tidak kalah dengan negara lain. Cuma kita belum efisien dalam mengelola inovasi sehingga sebagian besar material mentah menjadi mahal. Padahal kita punya material mentahnya. Cara kita membangun nilai tambah ini yang harus diperbaiki. Bangsa kita bisa membuat produk yang berkualitas dan tidak kalah dengan negara lain. Lalu apa yang salah? Karena cara kita membangun nilai tambah yang kurang, ini yang menyebabkan tidak efisien.
Saya sampaikan bahwa inovasilah yang menjadi jawaban dari daya saing itu. Berikan kita kesempatan untuk betul-betul melakukan inovasi di segala bidang, agar inovasi menjadi darah daging. Masyarakat sudah sangat berminat untuk mencintai produk Indonesia. Hanya saja, daya belinya yang sulit. Contohnya, kita sebetulnya ingin sekali menggunakan turbin dari produk dalam negeri untuk PLTU. Tapi belum ada industri dalam negeri yang mampu yang menghasilkan turbin, misalnya turbin 1–5 megawatt yang berkualitas namun juga mempunyai harga bersaing. Itu belum ada.
Bagaimana upaya BPPT agar mampu melahirkan produk inovasi yang lebih unggul daripada negara lain?
Indonesia sendiri mempunyai inovasi yang sebetulnya lebih unggul daripada negara lain. Umumnya lebih ke inovasi biodiversitas seperti vaksin, misalnya vaksin khusus penyakit tropis. Itu kita lebih lengkap. Jadi memang Indonesia harus mengamati sektor mana yang terkuat. Dan umumnya kita kuat di inovasi sumber daya alam.
Kita harus mampu mengembangkan teknologi yang bisa meningkatkan nilai sumber daya alam. Kalau inovasi konkret yang bisa dimanfaatkan jangan sampai hanya “satu bumi” tapi saya inginnya inovasi teknologi kita ini “dibumikan”. Ini terkait dengan spirit speed, kita ingin mencapai “buah yang paling rendah”: jangan kita terlalu berfokus pada inovasi teknologi yang terlalu tinggi namun efektivitasnya tidak ada. Lebih baik kita membuat inovasi yang dibumikan.
Kita memang perlu membangun kolaborasi antara pemangku kepentingan. Apa yang dihadapi oleh negara ini, kita berharap inovasi teknologi bisa menjadi solusinya. Ini yang harus didorong BPPT, yaitu menyatukan kemajuan teknologi inovasi untuk menjawab tantangan.