Jakarta, Gatra.com - Pengembalian draft revisi PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) menimbulkan sengkarut berkepanjangan. Pasalnya molornya pembahasan revisi ke-6 dari PP No. 23 Tahun 2010 berdampak pada perusahaan tambang batubara yang memiliki Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2PB). Celakanya dampak dari tarik ulur itu menyebabkan berhentinya operasionalisasi dari salah satu raksasa tambang PT Tanito Harum.
Selain belum clear-nya pembahasan revisi PP No. 23 Tahun 2010, pemerintah juga dihadapkan pada persoalan belum selesainya pembahasan revisi UU Minerba. Kedua peraturan pertambangan yang “menggantung” itu membuat masa depan tambang batubara di tanah air penuh ketidakpastian. Direktur Eksekutif Center of Energy Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan bahwa KPK perlu mengawal revisi UU Minerba yang dibahas di DPR. Dari informasi yang ia peroleh, draft revisi UU Minerba tersebut saat ini sudah sampai ke tangan DPR.
“Tak berselang hari setelah Setneg mengembalikan RPP Minerba ke-6 pada Kementerian ESDM, dan pengembalian itu atas permintaan KPK kepada Presiden, karena dianggap menyimpang dari regulasi yang ada, termasuk pemberian IUPK terhadap PT Tanito Harum adalah sebuah pelanggaran terhadap UU Minerba, tetapi anehnya Kementerian ESDM mengajukan revisi UU Minerba ke DPR RI pada 8 Juli 2019,” ujar Yusri kepada GATRA.com, Minggu (14/7).
Menurut Yusri sikap Kementerian ESDM tidak konsisten dan “maju-mundur” dalam menyikapi pembahasan revisi UU Minerba tersebut. “Padahal sebelumnya sekitar bulan April 2018 Menteri ESDM Ignatius Jonan mengatakan di berbagai media tidak perlu cepat-cepat merevisi UU Minerba, alasannya saat itu menurut Jonan masih belum 10 tahun sejak diundangkan, maka tak ada urgensinya UU Minerba tersebut untuk direvisi, sehingga kalau melihat sikap dan perbuatan pejabat KESDM selama ini terkesan tersandera oleh konglomerat batubara dan berpotensi upaya menjerumuskan Presiden,” katanya.
Ia menyebut agak aneh bila Menteri ESDM menyodorkan revisi UU Minerba ke DPR pada saat revisi PP No. 23 Tahun 2010 juga belum memiliki kejelasan. “Oleh karena itu sekarang timbul pertanyaaan publik apakah upaya tergesa-gesa saat ini yang telah dilakukan oleh KESDM hanya untuk kepentingan menyelamatkan 7 pemilik PKP2B agar dapat diperpanjang izinnya dalam bentuk IUPK atau betul untuk kepentingan ketahanan energi nasional?,” ujarnya lagi.
Yusri menyebut bila desakan itu jauh dari kepentingan maka seharusnya Kementerian ESDM menunjuk leading sector dari BUMN untuk menjadi pengendali usaha tambang sesuai amanah Undang-Undang. “Kalau benar upaya revisi UU Minerba dikatakan untuk kepentingan nasional, seharusnya sejak awal terhadap lahan tambang PKP2B generasi pertama oleh KESDM sudah menunjuk BUMN Tambang untuk menjadi pelaksananya sesuai ketentuan UU Minerba di pasal 74, dan pentingnya kebijakan itu agar terhindar kekosongan kendali tambang dari kerusakan yang berdampak terhadap lingkungan yang akan terjadi dan pemutusan hubungan kerja karyawan”.
Dirinya mengatakan seharusnya Kementerian ESDM memiliki komitmen yang tinggi dalam menjalankan kebijakan sesuai UU Minerba dengan memberikan semua lahan PKP2B generasi pertama yang akan berakhir izinnya kepada BUMN tambang untuk menjaga ketahanan energi nasional jangka panjang. “Itu (dampak kebijakan) akan menjadi energi primer batubara sebagai penyangga kebutuhan PLTU milik PLN dan swasta yang diperkirakan mencapai 180 juta metrik ton pertahun pada tahun 2024,” ujarnya.
Direktur Eksekutif CERI itu menyarankan agar KPK melakukan pengawalan terhadap revisi UU Minerba tersebut sehingga menutup celah dari pihak-pihak yang berkepentingan. “Sebaiknya KPK mengawal ketat proses revisi UU Minerba ini di DPR, apalagi menjelang berakhirnya masa DPR periode 2014 - 2019 sangat rawan terjadi praktek kongkalikong dengan pemilik PKP2B dan oknum pejabat KESDM,” katanya lagi.