Palembang, Gatra.com - Pernikahan dini yang terjadi antara pelajar sekolah dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang terjadi di Sanga Desa kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel, pada Kamis (11/7) dan menjadi perbincangan di media sosial lalu sangat disesalkan.
Pemerhati Anak di Sumsel, Tri Widayatsih menilai pernikahan dini yang terjadi antara anak-anak akan lebih banyak merugikan. Bukan hanya soal pernikahan dininya namun juga tidak terpenuhinya hak anak seperti mana yang tertuang dalam peraturan di negara ini. “Pernikahan dini akan mengakibatkan hak anak, yakni hak tumbuh dan berkembang, hak memperoleh pendidikan, hak dilindungi, dan tidak mengalami diskriminasi, kekerasan akan sulit diperoleh ketika sudah terjadi ikatan pernikahan,” ungkapnya kepada Gatra.com.
Pernikahan dini telah melanggar UU 35 tahun 2014, mengenai Perlindungan Anak yang mengharuskan keduannya memperoleh tanggungjawab yang bukan pada seusiannya. Hal ini, sambung Komisioner Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) kota Palembang ini, akan berpengaruh pada psikiologisnya. Belum lagi, aspek kesehatan fisik pada kedua anak tersebut. “Sangat miris ya, dan memang angka pernikahan dini di Sumsel masih tinggi,” sambungnya.
Dia mengatakan pernikahan dini memiliki multi imbas kepada anak-anak, selain sebagai subjek atau generasi bangsa, juga akan terciptanya budaya masyarakat yang makin tidak memahami mengenai perlindungan anak. Langkah pertama yang harus dilakukan yakni memberikan penyuluhan dan penyadaran kepada keluarga dan orang tua.
“Bagaimanapun, orang tua dan keluarga merupakan elemen utama dan terdekat pada anak-anak. Selain kedua anak itu, mungkin mereka punya adik, atau anak-anak lain yang harus lebih dilindungi,” ungkapnya.
Pernikahan dini yang telah terjadi menjadi pembelajaran kepada orang tua, keluarga, masyarakat, terutama pemerintah setempat, misalnya setingkat Kepala Desa (Kades), Camat dan lainnya. Penyuluhan mengenai perlindungan anak memang harus lebih dimasifkan, terutama menghindari mereka dari pergaulan bebas dan narkoba.
“Saya masih temukan di banyak daerah, pernikahan dini seolah menjadi budaya. Hal ini yang perlu menjadi perhatian penting pemerintah. Apalagi, elemen organiasasi dengan lingkup perlindungan anak sudah semakin banyak, seperti Badan Perlindungan Perempuan dan Anak, Forum Perlindungan Anak dan lainnya,” terangnya.
Penyebab pernikahan dini, paling banyak akibat pergaulan bebas. Dikatakan Tri, pergaulan bebas biasanya diperoleh dari media. Orang tua hendaknya memahami pengunaan ponsel yang menyediakan kontens sangat bebas dan sulit difilter oleh anak-anak tanpa pengetahuan dan pendekatan agama yang kuat. Adegan pada kontens yang bebas di ponsel akan terekam dalam otak anak-anak yang kemudian berkeinginan mengaplikasikannya.
“Sama seperti saat menonton film. Jika yang diperoleh konten-konten pornografi dari ponsel, tentu anak akan berkeinginan mencoba. Di sinilah, letak peran orang tua memberikan pemahaman, terutama pendekatan agama kepada anak, apa yang dilarang, apa yang tidak diperkenankan atau apa akibatnya,” ungkap Dosen Universitas PGRI Palembang ini seraya berharap peran penyuluhan kepada masyarakat lebih ditingkatkan.