Jakarta, Gatra.com - Tiga orang bersudara diagendakan diperiksa dalam kasus dugaan korupsi Anggota Komisi VI DPR, Bowo Sidik Pangarso. Mereka adalah mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin dan dua orang saudaranya.
Nazaruddin dijadwalkan diperiksa pada 9 Juli 2019 di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung. Namun terpidana kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games 2011 itu tidak bisa menjalani pemeriksaan karena sakit. Agendanya, Nazaruddin akan dimintai keterangan sebagai saksi untuk kasus tersangka Idung (IND).
"Yang bersangkutan sakit dan tidak jadi diperiksa, akan dijadwal ulang," ujar juru bicara KPK, Febri Diansyah, saat dikonfirmasi pada Jumat (12/7).
Kemudian, adik Nazaruddin bernama Muhajidin Nur Hasyim juga sempat dijadwalkan untuk diperiksa pada 5 Juli 2019. Namun Hasyim mangkir atau tidak hadir tanpa keterangan. Febri mengatakan, pihaknya akan mengagendakan ulang pemeriksaan Hasyim pada Senin 15 Juli 2019.
Baca juga: Diperiksa Dalam Kasus Bowo, Bupati Meranti Serahkan Sejumlah Dokumen DAK
Adik Nazaruddin yang lainnya adalah Muhammad Nasir telah diperiksa dalam kasus ini. Anggota komisi VII DPR ini menjalani pemeriksaan sebagai saksi pada 1 Juli 2019. Usai menjalani pemeriksaan, Nasir tidak mengeluarkan satu patah kata pun kepada wartawan. Ia tidak mengindahkan sejumlah pertanyaan dari awak media. Politikus Demokrat itu ngacir menghindari wartawan, dia langsung menuju sebuah taksi.
Febri mengatakan bahwa pihaknya akan mengagendakan lagi pemeriksaan Nasir. "Akan dipanggil kembali," ucapnya.
Terkait pemeriksaan Nasir saat itu, Febri mengatakan bahwa penyidik antirasuah mendalami pengetahuan saksi tentang sumber gratifikasi yang diterima oleh Bowo Sidik.
Baca juga: Mendag Enggartiasto Lukita Mangkir Lagi dari Panggilan KPK
"Penyidik mendalami pengetahuan saksi terkait dugaan aliran dana gratifikasi kepada tersangka BSP [Bowo Sidik Pangarso]," ujar Febri, Senin (1/7).
Dalam kasus ini, KPK mengendus adanya sejumlah penerimaan gratifikasi Bowo Sidik. Indikasinya, ada empat sumber yang diterima oleh Politikus Golkar itu. Pertama, dugaan pengaturan tentang Permendag Gula Kristal Rafinasi. Kedua, terkait dengan penganggaran, khususnya DAK. Ketiga, terkait posisi seseorang di salah satu BUMN. Terakhir atau keempat, terkait revitalisasi pasar di Minahasa Selatan (Minsel), Sulawesi Utara (Sulut).
Sementara perkara utamanya, KPK menduga Bowo bersama Staf PT Inersia, Indung, menerima suap dari Marketing Manager PT Humpuss Transportasi Kimia (PT HTK), Asty Winasti (AWI). Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam perkara dugaan suap terkait kerja sama pengangkutan pupuk melalui pelayaran antara PT Pupuk Indonesia Logistik (Pilog) dengan PT HTK.
KPK mengidentifikasi adanya pemberian suap dari Asty kepada Bowo agar dapat membantu PT HTK kembali mendapat perjanjian penggunaan kapal-kapalnya untuk distribusi pupuk dari PT Pupuk Indonesia Logistik (Pilog). Dalam kesepakatan tersebut Bowo meminta jatah senilai US$2 per metrik ton.
Baca juga: Diperiksa Soal Suap Angkut Pupuk, Dirut Pilog Irit Bicara
Dalam operasi tangkap tangan (OTT), Tim Satgas KPK mendapati uang sejumlah Rp8 miliar pecahan Rp20.000 dan Rp50.000 yang sudah dimasukkan ke dalam sekitar 400.000 amplop dan dimasukkan ke dalam 84 kardus di kantor PT Inersia, perusahaan milik Bowo Sidik Pangarso. Uang ini yang diduga dikumpulkan oleh Bowo untuk "serangan fajar" pada Pemilu 2019.
Namun setelah dihitung KPK, uang yang diterima Bowo dari PT HTK adalah sejumlah Rp1,5 miliar. Kemudian sekitar Rp89,4 juta merupakan uang yang disita saat OTT. Sementara sisanya sejumlah Rp6,5 miliar inilah yang diduga berasal dari gratifikasi atau penerimaan-penerimaan Bowo dari sejumlah pihak.
KPK menyangka Bowo Sidik Pangarso dan Indung selaku penerima suap diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 dan atau Pasal 12B Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.