Jakarta, Gatra.com - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati mengatakan bahwa MA gagal memahami konstruksi dalam beberapa hal terkait kasus Baiq Nuril. Terutama penerapan terhadap UU ITE yang menjerat Baiq Nuril dengan putusan pidana 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta.
Menurutnya, dari hasil persidangan dapst dilihat bahwa tidak pernah ada pembuktian yang valid atas tuduhan terhadap Baiq Nuril melalui digital forensik.
"Misal sebetulnya kan hakim tahu kalau itu fotocopy, kalau itu kertas difotocopy, dia akan bilang bahwa itu kekuatannya tidak terlalu kuat. Tapi begitu jadi digital, terus hakim jadi gak paham," jelasnya ketika diwawancarai Gatra.com via telepon pada Jumat (12/7).
Ia menambahkan, seharusnya digital forensik dilakukan secara menyeluruh mengenai kebenaran penyebaran konten kesusilaan ini. Apakah benar disebarkan oleh orang yang bersangkutan atau orang kedua, atau bahkan ada kemungkinan akun tersebut diretas orang lain.
"Jadi harus dibedakan antara yang membuat konten dengan yang menyebarkan. Dan ini bisa diketahui melalui digital forensik," kata Asfina.
Selain itu, menurutnya, hakim gagal melihat keseluruhan peristiwa. Ia menambahkan, apa yang dilakukan itu tidak memiliki niat jahat, tapi untuk melakukan pembelaan diri.
"Ini harus dilihat ini relasi antara mereka, antara Baiq Nuril dan M itu apa. Dan ini ada soal korban dan pelaku, sehingga kalau dalam pidana kan niat jahatnya gak ada," tambahnya.
Dengan adanya kasus ini, Asfina menilai bahwa Indonesia harus segera mempunyai UU penghapusan kekerasan seksual. Menurutnya, banyak kasus pelecehan seksual seperti Baiq Nuril yang tidak bisa ditindaklanjuti karena tidak ada pasal yang mengaturnya secara jelas.
"Tidak dikenal dalam hukum indonesia yang dinamakan pelecehan seksual, kecuali ditaruh di pasal lain, tapi gak ada kalau kita cari pelecehan seksual," jelasnya.