Jakarta, Gatra.com – Direktur Pakan Kementerian Pertanian, Sri Widyawati mengaku pihaknya belum menerima laporan adanya penggunaam gandum untuk pakan ternak.
"Sejak swasembada jagung dicanangkan pak menteri, maka kami tidak lagi memproses (rekomendasi) impor gandum," kata ketika dihubungi Gatra.com, Kamis (11/7).
Widyawati menjelaskan bahwa bahwa komponen pakan sebanyak 65% dipenuhi dari dalam negeri dan 35% dari pasokan impor.
Komponen lokal terdiri dari jagung, dedak, CPO, dan bahan lokal lain termasuk singkong (cassava). Sedangkan yang masih diimpor adalah bungkil kedelai (soybean meal), premix dan komponen lain seperti CGM.
Adapun rinciannya, porsi penggunaan jagung rata-rata sebesar 40%, dedak 15%, CPO 5%, bahan lokal lain/ casava 5%, bungkil kedelai 25%, premix (campuran) 0,6%, dan komponen impor lain 9,4%.
"Prinsip Formulasi pakan adalah minimun cost ratio dengan tetap memperhatikan mutu dan keamanannya," ujarnya.
Dikatakan, semua sumber energi yang bisa digunakan untuk mengganti itu [jagung] bisa.
“Misalnya sorgum bisa. Gandum juga bisa, tapi kita nggak proses,” ujarnya.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Oke Nurwan menjelaskan bahwa peningkatan impor belakangan ini karena permintaan konsumen yang meningkat terhadap bahan baku pangan dari gandum.
“Disinyalir terjadinya kenaikan impor gandum ini akibat kebutuhan pasokan selama bulan puasa dan hari raya Idul Fitri," ujarnya.
Data dari Kementerian Perdagangan, volume impor gandum mengalami tren kenaikan selama lima tahun terakhir dengan rata-rata kenaikan sebesar 11,56% per tahun.
Pada tahun 2014 misalnya, volume impor gandum sebesar 7,63 juta ton dengan nilai sebesar US$ 2,46 miliar. Lalu pada tahun 2018, volume tersebut naik menjadi 10,16 juta ton dengan nilai sebesar US$ 2,59 miliar.
Bahkan, terjadi peningkatan volume impor gandum pada periode Januari-April 2019 sebesar 3,95 juta ton, naik 31,1% dari Januari-April 2018 sebesar 3,02 juta ton.