Jakarta, Gatra.com - Perpanjangan dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2PB) menimbulkan polemik setelah presiden mengembalikan draf revisi ke-6 Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) kepada Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM).
Imbasnya, Kementerian ESDM mencabut surat keputusan pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada PT Tanito Harum yang sebelumnya berstatus PKP2PB.
Pakar Hukum Pertambangan dari Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi berpandangan revisi PP No.23 tidak diperlukan karena sengkarut persoalan terletak di Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba yang bertentangan dengan PP.
"Di Undang-Undang Dasar Pasal 22 apabila ada kegiatan yang memaksa, Presiden bisa terbitkan Perppu. Perppu harusnya segera diterbitkan presiden agar pertama kepastian bagaimana PKP2B menjadi IUPK clear secara hukum. Kedua, kaitannya dengan ketentuan luas wilayah 15 ribu hektar," terangnya kepada GATRA.com.
Namun, ia mengingatkan penerbitan Perppu memiliki "ongkos politik" yang tinggi ketika dibahas di DPR untuk menjadi UU.
Redi menambahkan pengujian UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi merupakan langkah tercepat yang bisa dilakukan untuk memeroleh kepastian hukum, khususnya terkait pasal 83 dan 171.
"MK [bisa saja] memberi tafsir bahwa apa yang dilakukan pemerintah misalnya memberi PKP2B yang sudah mendapat IUPK dan memberi luas wilayah yang lebih 15 ribu hektar tidak bertentangan dengan undang-undang dasar," jelasnya.
Ketua Indonesian Mining Institute, Irwandy Arif berpendapat bahwa perpanjangan PKP2B sebenarnya sesuai dengan UU Minerba.
"Pertama, hak perpanjangan PKP2B sudah diatur dalam pasal 169 UU Minerba. Kedua, Penciutan jadi 15 ribu tidak berlaku sepanjang permohon PKP2B telah menjelaskan rencana kontrak kerjanya pada pemerintah dan telah disetujui pemerintah," ungkapnya.