Semarang, Gatra.com - Indonesia diharapkan dapat mengurangi penggunaan energi berbahan dasar fosil serta beralih dengan mengggunakan energi baru dan terbarukan (EBT). Pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) tidak perlu karena kondisi geologi Indonesia banyak patahan dan rawan bencana sehingga membahayakan masyarakat.
Hal ini mengemuka pada seminar nasional “Implementasi Rencana Umum Energi Daerah untuk Ketahanan Energi yang Berkelanjutkan” di Gedung Pascasarjana Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Selasa (9/7).
Seminar yang digelar Purnomo Yusgiantoro Center bekerjasama dengan Sekolah Pascasarjana Undip mengadirkan narasumber mantan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan mantan Menteri Pertahanan, Purnomo Yusgiantoro; serta Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), Saleh Abdurrahman.
Selain itu juga Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Tengah (Jateng), Sujarwanto Dwiatmoko; pengamat Geologi, Surono; Pimpinan Institute for Essential Services Reform (IESR) Undip, Fabby Tumiwa, dan Ketua Prodi Magister Energi Undip, Jaka Windarta.
Baca juga: Sebagaian Besar Penduduk Indonsia Tinggal di Daerah Bencana
Purnomo Yusgiantoro, menyatakan, saat ini pemakaian energi fosil masih sangat dominan sehingga membuat tingkat ketergantungan terhadap energi fosil makin tinggi. “Padahal fosil tidak bisa dilakukan pembaharuan sehingga perlu energi alternatif, yakni energi baru dan terbarukan,” ujarnya.
Menurut ia, potensi sumber daya energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia seperti panas bumi, bioenergi, tenaga surya, dan tenaga angin cukup besar. Potensi tenaga air sebesar 75.670 megawatt (MW), panas bumi sebesar 27.670 MW, bioenergi sebesar 49.810 MW, tenaga surya sebesar 207.898 MW, dan tenaga angin sebesar 9.290 MW
Saat ini, pemanfaatan EBT untuk tenaga tenaga air, baru dimanfaatkan 6,75%, panas bumi 6,5%, bioenergi 3,6%, tenaga surya 1,4%, dan tenaga angin 0,01%. “Kebijakan energi nasional yang disusun 2014 perlu di-update, disesuaikan dengan perkembangan zaman,” ujar Purnomo.
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional DEN), Saleh Abdurrahman, menyatakan berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, pemerintah wajib membuat rencana umum energi nasional (RUEN). Sedangkan pemerintah daerah diminta untuk membuat rencana umum energi daerah (RUED) provinsi yang merupakan penjabaran dari RUEN.
“Saat ini sudah ada tiga provinsi yang membuat perda RUED provinsi, yakni Jawa Tengah (Jateng), Jawa Barat (Jabar), dan Nusa Tenggara Barat (NTB),” kata Saleh.
Dewan Energi Nasional (DEN) telah menetapkan bauran energi primer, minyak bumi 25%, gas bumi 22%, batubara 30% dan EBT 23%. “Target RUEN, penyediaan energi primer mencapai 400 juta ton setara minyak bumi (MTOE - million tonnes of oil equivalent) atau 23% pada 2025 dan 1.000 MTOE atau 31% pada 2050,” ujar dia.
Pengamat Geologi Surono, menyatakan Indonesia tidak perlu membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) karena kondisi geologi banyak patahan dan rawan gempa sehingga sangat berbahaya. “Labih baik memanfaatkan energi lain seperti panas bumi dan tenaga surya,” saran dia.
Ketua Institute for Essential Service Reform (IESR) Undip Semarang, Fabby Tumiwa juga tidak sependapat dengan pembangunan PLTN. Menurut dia, PLTN bukan soluai yang efektif terhadap tantangan trilema energi yakni energi yang terjangkau, pasokan energi yang aman, dan berkelanjutan.
“PLTN risiko terjadinya kecelakaan atau bencana yang tetap tingggi, harga listrik mahal, yaitu rata-rata $150/MWh serta tidak ada teknologi PLTN yang menjamin 100% aman dari kecelakaan,” ujar dia.