Jakarta, Gatra.com - Pengacara Sjamsul Nursalim, Maqdir Ismail bersyukur atas putusan lepas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung.
"Putusan ini harus dihormati dan disyukuri," kata Maqdir Ismail saat dihubungi, Selasa (9/7).
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Kasasi dari mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung. Ia diputus lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging).
Dengan demikian Mahkamah Agung membatalkan putusan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 29/PIDSUS-TPK/2018/PT DKI tanggal 2 Januari 2019 yang memperberat hukuman penjaranya selama 15 tahun.
Saat itu PT DKI menyatakan, Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung terbukti melakukan korupsi bersama-sama dengan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sjamsul Nursalim, dan Itjih Nursalim dalam kasus Surat Keterangan Lunas (SKL). Adapun total kerugian negara akibat perlakuan Syafruddin itu mencapai Rp4,58 triliun.
Menanggapi hal itu, Maqdir mengatakan, pihaknya belum mengajukan upaya hukum terkait kasus menyeret pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim.
Namun dengan putusan ini, menurutnya, akan memberi kepastian hukum pada kasus pemberian SKL Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Putusan ini telah memberikan kepastian hukum atas masalah BLBI," tambah Maqdir.
Hal itu dikatakan Maqdir karena penetapan tersangka terhadap Sjamsul dan Itjih merupakan pengembangan perkara dari fakta persidangan terhadap Syafruddin Arsyad Temenggung.
Sjamsul Nursalim selaku pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) juga disebut telah melakukan misrepresentasi dengan memasukan piutang petani tambak Rp4,8 triliun. Sedangkan utang para petani tambak tersebut ternyata piutang macet.
Financial Due Diligence (FDD) menemukan utang petambak tersebut dalam keadaan macet. Kemudian BPPN menyurati Sjamsul untuk menambah jaminan aset sebesar Rp4,8 triliun. Namun Sjamsul menolak dengan alasan kredit petambak termasuk kredit usaha kecil (KUK). Karena itu, hakim menilai penolakan itu justru bertentangan dengan Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA).
Pada April 2004, malah terjadi penandatangan Akta Perjanjian Penyelesaian oleh Syafruddin dengan istri Sjamsul, Itjih Nursalim, yang menyatakan pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban, sesuai dengan yang diatur di MSAA. Lalu diterbitkanlah Surat Keterangan Lunas SKL-22 untuk Sjamsul Nursalim.
Atas perbuatan tersebut, Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.