Bantul, Gatra.com - Kasus polemik rumah ibadah terjadi di Bantul. Sejumlah warga di RT 34 di Dusun Bandut Lor, Desa Argorejo, Sedayu, Bantul, memprotes penggunaan rumah tinggal untuk tempat ibadah.
Pemilik rumah, Pendeta Tigor Yunus Sitorus, dinilai melanggar kesepakatan dengan warga pada 2003 silam. Warga menyebut, saat membangun rumah, Sitorus menyatakan tidak akan menjadikan rumahnya sebagai tempat ibadah.
Namun sejak Januari tahun ini, rumah ini beralih fungsi sebagai Gereja Kristen Pantekosta Di Indonesia bernama Imanuel Sedayu. Meski tanpa plang nama, perlengkapan ibadah seperti mimbar ada di dalam rumah itu.
Baca Juga: Pedukuhan di Bantul Larang Tinggal Warga Beda Agama
Hanif Suprapto, seorang warga yang menyatakan mewakili warga lain, menyebut Sitorus telah melanggar kesepakatan yang dibuat bersama warga.
“Dulu kami mengizinkan beliau bermukim di lingkungan ini dengan syarat tidak akan menjadikan sebagai tempat ibadah dengan kegiatan rutin. Namun yang terjadi setiap Sabtu dan Minggu banyak jemaah yang datang untuk beribadah,” katanya.
Karena itulah, pada Sabtu (6/7) malam lalu, dalam rapat yang dipimpin Ketua RT 34 Samsyuri, warga meminta seluruh kegiatan ibadah di rumah Sitorus dihentikan karena dianggap cacat prosedur.
Ditemui di rumahnya, Sitorus mengatakan tidak melanggar aturan pemerintah dan kesepakatan warga. Menurutnya, dalam kesepakatan 2003 itu, larangan menjadikan rumahnya sebagai tempat ibadah akan batal jika dirinya bisa mendapatkan izin pendirian rumah ibadah dari pemerintah.
“Saya mengajukan surat perizinan pendirian rumah ibadah pada 2017 lalu dan baru keluar 15 Januari 2019. Sejak Januari lalu, rumah ini resmi menjadi tempat ibadah,” jelasnya.
Baca Juga: Salib di Makam Dipotong, Kiai Kotagede Minta Warga Hormati Perbedaan
Sitorus pun menunjukkan sertifikat IMB rumah ibadah ke wartawan. Sertifikat itu dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu dengan nomor 0116/DPMPT/21/I/2019. Surat itu menerangkan bahwa Pemkab Bantul mengesahkan rumah Sitorus sebagai tempat ibadah. Surat ini telah melalui proses dari desa hingga kecamatan.
Selama proses pengajuan perizinan itu, Sitorus mengakui dirinya tidak meminta persetujuan dan rekomendasi warga sekitar saat menggunakan rumahnya sebagai tempat ibadah bersama.
Menurutnya, hal itu bukan syarat wajib seperti diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pendirian Tempat Ibadah dan Peraturan Bupati Nomor 98 Tahun 2016 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah. Demikian juga saat sertifikat IMB rumah ibadah terbit, dia bilang juga tidak melakukan sosialisasi ke warga.
Baca Juga: Jogja Dianggap Intoleran karena Pemotongan Salib, Sultan: Itu Konsekuensi
Saat ditemui di kantornya, Camat Sedayu Faudzan Mu’Arifin menerangkan, telah melakukan proses mediasi antara Sitorus dan warga penolak rumah ibadah. Namun, kata Faudzan, kedua pihak bersikukuh pada pendapat masing-masing.
“Proses mediasi gagal menemukan titik temu. Kami serahkan kasus ini ke Pemkab Bantul. Terkait dengan ancaman akan ada aksi jika ibadah tetap dilakukan, kami serahkan ke aparat keamanan,” ujar Camat Sedayu sejak 2017 itu.
Menurut Faudzan, merujuk Perbup tentang pendirian tempat ibadah, ada syarat wajib yang dilanggar Sitorus yaitu tidak menyertakan tanda tangan warga sebanyak 60 orang.