Jakarta, Gatra.com - Usai menjalani pemeriksaa di KPK, mantan Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Subianto tidak banyak bicara. Ia terlihat keluar dari Gedung KPK sekitar pukul 11.45 WIB, Selasa (9/7). Pemeriksaan terhadap Bambang Subianto terkait kasus korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Menteri menjabat dalam Kabinet Reformasi Pembangunan era Presiden B.J. Habibie ini dimintai keterangan oleh penyidik untuk tersangka Itjih Nursalim. Ia sendiri juga tercatat sebagai Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pertama pada 1998.
"Tanya KPK aja," jawab Bambang menanggapi sejumlah pertanyaan dari wartawan.
Dalam persidangan untuk terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung, Ia merupakan orang yang menandatangani surat tagihan untuk menalangi sementara tagihan BLBI.
Selain Bambang, juga turut diperiksa sejumlah saksi yang pernah menjabat di BPPN di antaranya Komisaris Maybank Indonesia, Edwin Gerungan. Ia diketahui menjabat sebagai Kepala BPPN pada Tahun 2000-2001.
Edwin ogah buka mulut usai diperiksa KPK. Dia bungkam sejak keluar Gedung KPK hingga menuju mobilnya.
Selanjutnya mantan orang nomor satu BPPN lainnya yang turut diperiksa adalah Chairman Ary Suta Center, I Putu Gede Ary Suta. Ia menjabat menjabat pada 2001-2002.
Dalam kasus ini, pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim ditetapkan sebagai tersangka karena telah melakukan misrepresentasi. Keduanya pun pernah dipanggil untuk dimintai keterangan sebagai tersangka pada Jumat lalu (28/6). Namun keduanya mangkir tanpa alasan dari panggilan tersebut.
Kasus ini merupakan pengembangan perkara dari fakta persidangan terhadap mantan Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung. Dalam vonis, majelis hakim menyebutkan, Syafruddin terbukti melakukan korupsi bersama-sama dengan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sjamsul Nursalim, dan Itjih Nursalim terkait penerbitan SKL BLBI.
Sjamsul Nursalim selaku pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) juga disebut telah melakukan misrepresentasi. Yakni dengan memasukkan piutang petani tambak Rp4,8 Triliun, sedangkan utang para petani tambak tersebut ternyata piutang macet.
Financial Due Diligence (FDD) yang menemukan utang petambak tersebut dalam keadaan macet, kemudian BPPN menyurati Sjamsul untuk menambah jaminan aset sebesar Rp4,8 Triliun. Namun Sjamsul menolak dengan alasan kredit petambak termasuk kredit usaha kecil (KUK). Karena itu hakim menilai penolakan itu justru bertentangan dengan Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA).
Namun, pada April 2004, malah terjadi penandatanganan Akta Perjanjian Penyelesaian oleh Syafruddin dengan istri Sjamsul, Itjih Nursalim. Dengan kata lain menyatakan pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan yang diatur di MSAA. Lalu diterbitkanlah Surat Keterangan Lunas SKL-22 untuk Sjamsul Nursalim.
Atas perbuatan tersebut, Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.