Jakarta, Gatra.com - Direktur utama holding pertambangan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Budi Gunadi Sadikin mengkhawatirkan stok bahan baku mineral dan batubara (minerba) di sektor hilir yang sudah menipis.
Sebagai gambaran, Budi menjelaskan anak usaha Inalum, PT Bukit Asam (PTBA) mampu memproduksi 25 juta ton per tahun batubara. Dari angka tersebut, PTBA akan membangkitkan listrik sebesar 11 juta ton batubara per tahun dan bangun pabrik syngas methanol serta Dimethyl Ether (DME) sebesar 13 juta ton batubara per tahun.
"Akibatnya dalam 5 tahun ke depan yang tadinya ekspor 25 juta ton batubara, kita akan serap 24 juta ton dari ore untuk ubah jadi listrik dan ubah jadi syngas dan methanol. Akibatnya, pabrik yang kita bangun butuh continue supply minimal 30 tahun, idealnya 30-50 tahun," kata Budi dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Selatan, Senin (8/7).
Budi menambahkan, pihaknya tengah mengalkulasikan lebih lanjut agar cadangan energi tidak terpusat di batubara.
"Kalau dihabiskan sekarang, memang uang dapat sekarang, tapi anak cucu kesulitan cari batubara untuk pembangkit listrik yang butuh 11 juta ton per tahun dan syngas methanol 13 juta ton. Yang tadi itu untuk PTBA saja. Ini kalau ditarik ke level nasional, bisa jadi isu besar," ungkap Budi.
Budi menerangkan, kekurangan juga terjadi tak hanya di batubara, namun juga di nikel. "Hal sama kita alami di nikel, kita sekarang ekspor barang mentah dekati 3 juta ton per tahun. Perhitungan kita, kalau mau bangun pabrik stainless 5 juta ton (nikel) dan kita bangun pabrik baterai butuh 15 juta bat metric ton (nikel) per tahun. Jadi kita butuh 20 juta ton (nikel) per tahun," ungkapnya.
Atas dasar perhitungan tersebut, Budi memaparkan sedikitnya empat catatan konservasi energi san pemanfaatannya untuk pemerintah, khususnya kepada Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya dan Mineral (ESDM).
Pertama, perlunya kalkulasi lebih matang terkait cadangan dan kebutuhan batubara. Pihaknya tak ingin pabrik-pabrik di Inalum harus mendapatkan bahan baku secara impor lantaran tak dapat bahan baku dari dalam negeri.
Kedua, Budi mengusulkan pemerintah memberi bantuan di bidang riset minerba. "Pengalaman kami teknologi prosessing ini sangat susah berkompetisi karena pihak lain disubsidi negara, seperti Cina itu Research and Development (RND) dibantu penuh oleh negara dan perguruan tinggi, lebih baik, jauh lebih maju dan cepat," ucapnya.
Ketiga, Budi mengatakan semua industri hilirisasi minerba butuh energi tinggi, sehingga perlu adanya alternatif pembangkit energi lain seperti PLTA yang dinilai lebih murah.
"Misal aluminium, kita butuh 14 ribu kWh per ton, copper smelter butuh 10 ribu kwh per ton, nikel butuh 4 ribu sampai 5 rb kwh per ton sehingga kalau energi strategisnya mahal atau tidak murah, kita tidak bisa kompetisi di dunia. Terjadi di berbagai dunia itu tutup pabriknya. Indonesia punya potensi air, PLTA pembangkit listrik yang paling murah. Kami butuh dari dukungan pemerintah, potensi PLTA bisa dialokasikan untuk industri hilir minerba jadi global positioning jadi lebih murah," jelasnya.
Keempat, Budi menegaskan harus ada integrasi kebijakan fiskal bagi industri minerba. "Pak BG (Bambang Gatot Ariyono, Dirjen Minerba ESDM) pasti dikasih target sama Bu Menkeu supaya (dapat) royalti sebesar-besarnya. Tapi sebenarnya kalau kami akan invest besar sekali industri hilir, kami pengen batubara dijual di dalam negeri, khusus untuk industri hilir mendapatkan insentif fiskal, karena ton pemerintah bisa dapat pajak berupa ppn atau pph yang jauh lebih besar objeknya di produk hilirnya," papar Budi.
Budi juga menjelaskan, langkah tersebut tentu harus melibatkan beberapa kementerian, sehingga perlu adanya sinergitas dan optimalisasi yang terintegrasi dari pendapatan negara di beberapa kementerian. "Itu dihitung sekaligus sehingga bisa bisa dicari yang semaksimal mungkin bagi negara," tutupnya.