Surabaya, Gatra.com - Sidang kasus dugaan korupsi pengadaan kapal floating dock di PT Dok dan Perkapalan Surabaya (PT DPS) dengan terdakwa Riry Syeried Jetta dinilai terlalu dipaksakan. Pasalnya, kasus itu bukan masalah pidana melainkan perdata.
"Suatu perkara pidana yang harus diputuskan mengenai suatu hal perdatanya, pemeriksaan perkara pidana itu mestinya ditangguhkan, menunggu putusan pengadilan," kata kuasa hukum Riry, Samuel Benyamin Simangunsong, kepada Gatra.com di Surabaya, Senin (8/7).
Riry adalah mantan Direktur Utama PT DPS ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Jatim pada pertengan Mei lalu. Ia disangka korupsi bersama Antonius Aris Saputra, Dirut A&C Trading Network (ACTN), perusahaa yang berkedudukan di Singapura, senilai Rp63 miliar.
Menurut Samuel, kasus yang membelit kliennya masuk perkara perdata itu diperkuat keterangan saksi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Surabaya, Kamis (4/7) lalu.
Dalam kesaksian SPV Akutansi PT DPS, Agung Herry mengatakan pembayaran dalam transaksi pembelian floating dock yang dilakukan PT DPS dengan PT A&C Trading Network (ACTN) sudah sesuai dengan standar operasional yang berlaku.
Saksi lain, Anton Wahyuono, Pjs SPV Pengadaan PT DPS, mengakui pernah dilibatkan dalam proses pengadaan floating dock. Namun, ia mengakui bahwa tanda tangan yang ada pada MoM (berita acara rapat dengan BPKP) adalah tanda tangannya, yaitu MoM tentang pembahasan pengadaan dan arahan BPKP terhadap floating dock.
"Saat proses pengadaan mereka (saksi) ini merupakan tim komite investasi. Sampai sekarang, mereka masih menjadi staff PT DPS," kata Samuel.
Dalam eksepsi atau keberatan atas dakwaan jaksa juga diungkapkan adanya dua surat keputusan pengadaan yang mempunyai nomor sama tetapi isinya berbeda. Ia menengarai, tandatangan mantan Dirut PT. DPS tersebut discan ulang.
"Kita menengarai adanya pencetakan ulang atas kontrak pengadaan tersebut, yang dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan Riry. Pembuktian sudah diajukan dalam penanganan perkara. Namun hingga persidangan berjalan belum diketahui pelakunya," tegasnya.
Dalam eksepsi juga diungkapkan, terdakwa sebagai direktur utama baru di perseroan, meminta jajaran direksi memperhatikan aspek-aspek lainnya serta ketentuan-ketentuan terkait. Termasuk, melakukan berdasarkan kesepahaman yang ada.
Sebelumnya ia pernah meminta pendapat hukum dari Kejaksaan Agung bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, terkait dengan pinjaman untuk dana talangan dari pihak ketiga, dalam pembayaran termin kontrak atas dana PMN yang belum diterima. Bahkan, ia juga pernah meminta pendapat hukum dari Kejati Jatim atas rencana pembelian barang bukan baru.
Dengan bantuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jatim, pihaknya juga mengkaji aturan pengadaan barang dan jasa termasuk penyempurnaan aturan pengadaan barang dan jasa perseroan yang sesuai dengan GCG dan ketentuan yang berlaku, serta pendampingan pada saat proses pengadaan dilakukan.
Termasuk meminta terlebih dahulu kepada Komite Investasi untuk menggunakan jasa konsultan penilai (KJPP), untuk menilai kewajaran harga dan konsultan teknik untuk menilai kondisi floating dock tersebut.
Salah satu alasan yang memperkuat jika kasus yang dianggap telah merugikan negara sebesar Rp63 miliar tersebut lebih mengarah pada persoalan perdata adalah, adanya kontrak kerjasama antara PT DPS dengan PT A&C Trading Network (ACTN).
"Jadi sangat jelas hubungan antara PT DPS dengan PT ACTN adalah hubungan keperdataan, yang mana jelas ada aturan-aturan yang harus ditaati sesuai dengan isi perjanjian yang mereka buat. Dan ini jelas diakui jaksa sebagai mana tertuang dalam dakwaannya halaman 3 point 5 jo. hal 13 alinea pertama jo. Hal 21 point 5 jo. Hal 35 alinea 2," paparnya.
Sebagai konsekuensi apabila ada pelanggaran atau sesuatu yang tidak sesuai perjanjian, maka perbuatan itu adalah perbuatan ingkar janji atau wanprestasi. Sehingga menurut Samuel, perbuatan yang tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan bukanlah suatu perbuatan pidana.
Apalagi, PT DPS mengakui keperdataannya dalam perkara perdata No. 1112/Pdt.G/2018/PN.Sby, untuk mengajukan agar diperiksa dan diadili berdasarkan kompetensi absolut melalui Badan Arbitrasi Nasional Indonesia, yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana pasal 1320 jo pasal 1338 KUHPerdata, maka adanya suatu permohonan perselisihan antara PT ACTN dan PT. DPS kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Surabaya dalam perkara nomor 47/ARBN/BANI-SBY/IV/2019.
"Apabila ada suatu perkara pidana yang harus diputuskan mengenai suatu hal perdatanya atau ada tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, pemeriksaan perkara pidana tersebut dapat ditangguhkan, menunggu putusan pengadilan," tegasnya.
Samuel juga membantah tudingan adanya gratifikasi yang dilakukan terdakwa dengan saksi Andri Siwu, sebagaimana dalam dakwaan. Menurutnya, aliran dana senilai Rp132 miliar yang ditunjukkan jaksa dalam dakwaan, sebenarnya merupakan transaksi pribadi jual beli 2 buah kendaraan UTV merek Hisun 4x4 800cc dan 500cc milik terdakwa sejak 2014 sebelum menjabat, yang kemudian dijual kepada Adri Siwu.
Transaksi itu dilakukan melalui transfer 3 kali ke rekening BRI, BCA, dan Mandiri, untuk membuktikan pertanggungjawaban secara transparan yang harus dilakukan bukan suatu indikasi gratifikasi. Selain itu, Samuel menyebut transaksi tersebut tidak ada hubungan hukum dengan proses pengadaan floating dock tersebut.
Reporter: Abdul Hady JM
Editor: Abdul Rozak